Histats

Arsip Blog

Entri Populer

Hak cipta. Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Al-Jarh wa At-Ta’di

Al-Jarh wa At-Ta’di

 PENDAHULUAN
  1. Latar belakang
Al- jarh wa At-ta’dil adalah suatu ilmu yang sangat penting untuk dipelajari terutama bagi orang-orang yang menekuni bidang hadits, sebab ilmu itu adalah sebagai timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya, diterima riwayatnya; dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya dan dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.
Memang ada sebagian dari pada ulama beranggapan bahwa al-jarh wa at-ta’dil ini termasuk perbuatan ghibah atau menggunjing, hal ini terbukti dengan perkataan Abu Turab an-Nakhsyubi az-Zahid kepada imam Ahmad bin Hanbal, “ Ya Syaikh, jangan menggibah para ulama!” namun Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “ Celaka kamu, ini adalah nasihat. Ini bukan ghibah.[1] Namun walaupun begitu, para ulama’ hadits tetap melakukan penilaian kriteria para perawi hadits dengan ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini agar kebenaran terungkap dan kebathilan pun hilang.
Seandainya para tokoh kritikus rawi tidak mencurahkan segala perhatiannya dalam masalah ini dengan meneliti keadilan para rawi, menguji kekuatan hapalan dan ingatannya, hinngga untuk itu mereka tempuh rihlah yang panjang, menanggung kesulitan yang besar, meninggalkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap para rawi pendusta yang lemah dan kacau hafalannya, seandainya bukan usaha mereka, niscaya akan menjadi kacau balaulah urusan islam, orang-orang zindik akan berkuasa, dan para Dajal akan bermunculan.[2



PEMBAHASAN

  1. Pengertian Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Kalimat al-jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu al-jarh dan al-‘adl. Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata jaraha-Yajrahu, yang berarti “seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang di tandai dengan mengalirnya darah dari luka itu”. Dikatakan juga dengan hakim atau yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.[3]
Adapun al-‘adl secara etimologi berarti ”sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus”, merupakan lawan dari “lacur”. Orang adil berarti orang Yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif. Adapun secara terminologi, al-‘adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.[4]
Para Muhadditsin berpendapat bahwa jarh itu ialah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan ‘adalah atau ke-dhabit-annya. Sedangkan ta’dil ialah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia adil dan dhabit.[5]
Dengan demikian, ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti:

العلم الذي يبحث في احوال الرواة من حيث قبول رواياتهم او ردها
“Ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka”[6]

           
Hasby as-Shiddieqy mengatakan dalam karyanya bahwa ilmu Jarh wa at-Ta’dil itu adalah :

Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu.”[7]

            Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat atau adilnya seseorang yang meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi haditsnya.[8]

  1. Urgensi ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil itu sangat penting untuk dipelajari, karena ilmu itu sangat bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seseorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits terpenuhi.
Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padahal, perjalanan hadits semenjak Nabi Muhammad SAW. sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW., kemurnian sebuah hadits perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian dibidang  politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW., padahal riwayatnya ada riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentinga golongannya.[9]
Jika kita tidak tau benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah dan hadits yang palsu ( maudhu’ ).
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadist sahih, hasan, maupun hadits dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.

  1. Sejarah perkembangan Ilmu al-Jarh wa At-Ta’dil
Mencela para rawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terperdaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak dari zaman sahabat. Diantara para sahabat yang membahas keadaan para perawi hadits adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H). Di antara tabi’in , adalah Asy-Sya’bi (103 H), Ibnu Sirin ( 110 H), Said ibnu al-Musayyab (94 H).
Dalam masa itu, masih sedikit orang yang dicela, mulai abad ke-2 H., barulah banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng’irsalkan hadits, adakalanya karena merafa’kan hadits yang sebenarnya mauquf, dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, semisal Abu Harun al-Abdhary (143 H.).[10]
Sesudah berakhir masa tabi’in yaitu pada kira-kira tahun 150 H, para ahli mulai membahas keadaan-keadaan perawi, men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan mereka.di antara ulama besar yang memberikan perhatian bidang ini adalah Yahya ibnu Said al-Qhaththan (189 H), dan Abdurrahman ibnu Mahdy (198 H.). setelah itu , Yazid ibnu Harun (189 H.), Abu Daud at-Thayalisy (204 H.), dan Abd ar-Razzaq ibnu human (211 H.).[11]
Sesudah itu, barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarh dan ta’dil yang didalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan ditolak. Di antara pemuka-pemuka jarh dan ta’dil, adalah Yahya Ibnu Ma’in (233 H), dan masuk kedalam angkatannya, Ahmad ibnu Hanbal (241 H), Muhammad ibnu Sa’ad (230 H), Ali ibnu al-Madiny (234 H), Abu Bakar ibnu Abi Syaibah (235 H), Ishaq ibnu Rahawaih (237 H), sesudah itu, Ad-Darimy (255 H), Al-Bukhori (256 H), AL-Ajaly (261 H), Muslim (261), Abu Zur’ah ( 264 H), Abu Hatim ar-Razy (277 H), Abu Daud (275 H), Baqi ibn Makhlad (276 H), Abu Zur’ah ad-Dimasyqy (281 H).
Hal ini terus berlanjut, pada tiap-tiap masa terdapat ulama yang memperhatikan keadaan para perawi, hingga sampailah kepada Ibn Hajar al-Asqalany ( 852 H).

  1. Faktor-faktor yang mendorong kritik perawi
Penyebab dan dorongan untuk mengeritik perawi berbeda-beda berdasarkan perbedaan pandangan para ulama yang mengkritik. Mereka sepakat mengeritik seorang perawi. Terkadang terjadi perbedaan, yaitu sebagian ulama menjarh dan sebagian lainnya menta’dil. Di antara para ulama ada yang begitu ketat (Mutasyaddid) menilai seorang perawi. Penilaian ketat kepada seorang perawi itu sangat diharuskan karena masalah al-Jarh wa at-Ta’dil sangat penting dan berkaitan dengan sumber agama kedua. Sebagian ulama ada yang bersikap tengah-tengah dan sebagian lagi ada yang bersikap longgar (Mutasahil). Oleh karena itu, terkadang kita menemukan kesepakatan penilaian di antara mereka, tetapi adakalanya kita menemukan perbedaan penilaian di antara mereka. Mereka yang telah sepakat mengkritik jarh, tidak akan mengkritik baik (ta’dil), begitu pula sebaliknya. Perbedaan-perbedaan itu disebabkan perbedaan penilaian. Disatu pihak ada ulama yang menilai baik kepada seorang perawi, namun ada juga yang menilai jelek padanya. Karena itu, kita tidak boleh menyebutkan penilaian buruk berdasarkan penilaian seseorang dan juga tidak boleh menyebutkan penilaian baik berdasarkan penilaian seseorang.[12]
Permasalahan al-jarh wa at-ta’dil ini sangat penting, sehingga Imam Ibnu Hajar mencoba mengkaji faktor-faktor yang mendorong tajrih ini dalam beberapa factor, di antaranya: [13]
  1. Tajrih karena penganut bid’ah
  2. Tajrih karena menyalahi rawi terpercaya
  3. Tajrih karena kekeliruan
  4. Tajrih karena tidak diketahui identitasnya
  5. Tajrih karena terputus sanad
  1. Buku-buku yang memuat tentang ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Mengingat penetapan shahih dan dla’ifnya hadits didasarkan pada beberapa perkara, antara lain kedhabitan dan keadilan para perawi, atau cacatnya keadilan dan kedhabitan mereka, maka para ulama telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskan mengenai keadilan dan kedhabitan para perawi, yang diambil dari para imam mu’addil (yang ahli dalam menetapkan keadilan atau cacat seseorang-pen) dan terpercaya. Ini dikenal dengan nama at-ta’dil. Selain itu juga disusun berbagai kitab yang menjelaskan cacatnya aspek keadilan sebigian perawi, termasuk kedhabitan dan hafalan mereka, yang diambil dari para imam yang tidak memiliki sifat fanatik terhadap golongan. Ini dikenal dengan nama al-jarh. Dari sini pula kitab-kitab tersebut dinamakan kitab-kitab al-jarh wa at- ta’dil.
Kitab-kitab semacam ini sangat banyak dan bermacam-macam. Ada yang menjelaskan para perawi tsiqah; ada juga ynag menjelaskan para perawi dha’if yang cacat; namun ada juga yang menjelaskan keduanya. Disisi lain, sebagian kitab-kitab itu ada yang bersifat umum menyebut para perawi hadits tanpa memperhatikan lagi rijal kitabnya, atau kitab-kitab tertentu dari kitab-kitab hadits. Tapi, ada pula yang khusus memuat biografi para perawi kitab tertentu dari kitab-kitab hadits.[14]
Apa yang dilakukan oleh para ulama jarh dan ta’dil dalam menyusun kitab-kitab tersebut merupakan pekerjaan yang amat bernilai dan amat melelahkan. Mereka melakukan penelusuran yang akurat untuk mengetahui biografi seluruh rawi hadits; dan menjelaskan jarh dan ta’dil terhadap para perawi hadits- sebagai langkah awal-. Setelah itu menjelaskan siapa saja yang mengambil hadits darinya, dan siapa pula yang mengambil dari mereka, kemana saja mereka berpergian, kapan perjumpaan mereka dengan para syeikh (guru-guru mereka), dan memastikan masa mereka hidup; semua itu dilakukan para ulama jarh dan ta’dil, dengan upaya dan pencapaian yang tidak pernah dilakukan dan dicapai oleh umat-umat lain; bahkan umat yang ada pada masa sekarang ini pun tidak sanggup untuk mendekati apa yang telah disusun oleh para ulama hadits, yang telah meletakkan semacam ensiklopedi yang amat besar tentang biografi para rijal dan perawi hadits; mereka menghapalnya sepanjang hari untuk mengetahui secara sempurna para perawi hadits dan penyampaiannya.[15]
Adapun sebagian dari kitab-kitab mereka antara lain: [16]
  1. Tarikh al-Kabir, karya Bukhari. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dha’if.
  2. Al-Jarhu wa at-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dha’if, ,menyerupai kitab sebelumnya.
  3. Ats-Tsiqaat, karya Ibnu Hibban. Kitab yang khusus memuat para perawi tsiqah.
  4. Al-Kamil fi ad-Dhu’afa, karya Ibnu ‘Adi. Kitab ini khusus memuat biografi rawi-rawi dha’if, sebagaimana terpampang pada judul kitab.
  5. Al-Kamil fi Asma-I ar-Rijal, karya Abdul Ghani al-Muqaddisi. Kitab umum, tetapi khusus memuat para perawi hadits yang terdapat dalam kutub as-sittah.
  6. Mizan al-I’tidal, karya adz-Dzahabi. Kitab yang khusus memuat rawi-rawi dha’if dan matruk (yaitu setiap rawi yang dijarh, meski jarhnya tidak bisa diterima).
  7. Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar. Merupakan ringkasan dari kitab al-Kamil fi Asma-I ar-Rijal.

  1. Syarat Ulama al-Jarh wa at-Ta’dil
Seorang ulama al-Jarh wa at-ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya objektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya yakni sebagai berikut:[17]
  1. Berilmu, bertakwa, wara’ dan jujur. Karena apabila ia tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-Jarh wa at-Ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.
Al-Hafidz berkata: “ Seyogyanya al-Jarh wa at-Ta’dil tidak diterima kecuali dari orang yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadits dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap hadits yang ia ucapkan.”
  1. Ia mengetahui sebab-sebab al-Jarh wa at-Ta’dil. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarah an-Nukhbah, “Tazkyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima apabila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.”
  2. Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa arab, sehingga suatu lafadz yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafadz yang tidak sesuai untuk men-jarh.
Agus Solahuddin dan Agus Suyadi menjelaskan dalam bukunya bahwa syarat-syarat bagi ulama al-Jarh wa at-Ta’dil yaitu:[18]
  1. Berilmu pengetahuan
  2. Takwa
  3. Wara’ (orang yang  selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat)
  4. Jujur
  5. Menjauhi fanatik golongan
  6. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.

  1. Tingkatan al-Jarh wa at-Ta’dil
Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya al-Jarh wa at-Ta’dil telah membagi tingkatan al-Jarh wa at-Ta’dil menjadi empat bagian berikut penjelasan hukumnya. Lalu para ulama menambah lagi dengan dua tingkatan, sehingga menjadi enam tingkatan, yaitu:
  1. Tingkatan Ta’dil dan lafazh-lafazhnya serta hukumnya
    1. Lafazh yang menunjukkan mubalaghah (kelebihan) dalam hal ketsiqahan (keteguhan), atau wazan yang mengikuti wazan af’ala. Contohnya: fulanun ilaihi al-muntaha fi at-tsabbut (si fulan itu paling tinggi keteguhannya) atau fulanun atsbata an-nas (si fulan itu termasuk orang yang  paling teguh).
    2. Lafazh yang memperkuat salah satu sifat atau dua sifat tsiqah. Seperti, tsiqatun tsiqah (orang yang sangat-sangat tsiqah), atau tsiqatun tsabitun (orangnya tsiqah dan teguh).
    3. Lafazh yang menunjukkan ketsiqahan tanpa ada penguatan. Seperti, tsiqatun (orangnya tsiqah)atau hujjatun (orangnya ahli argument).
    4. Lafazh yang menunjukkan ta’dil tanpa menampakkan kedhabitan. Seperti Shaduqun (orangnya jujur) atau yang sama kedudukannya dengan shaduq, atau la ba’sa bihi yang diungkapkan oleh selain Ibnu Ma’in, karena lafadz itu bagi Ibnu Ma’in mempunyai arti tsiqah.
    5. Lafazh yang tidak menunjukkan ketsiqahan atau menunjukkan tidak adanya jarh. Contohnya, fulanun syaikhun (si fulan itu seorang guru), atau ruwiya ‘anhu an-nas (manusia meriwayatkan darinya).
    6. Lafazh yang mendekati adanya jarh. Seperti, fulanun shalih al-hadits (si fulan itu haditsnya shalih), atau yuktabu haditsuhu ( orang yang haditsnya dicatat).[19]

Adapun hukum tingkatan-tingkatan tersebut ialah sebagai berikut:
  1. Untuk tiga tingkatan yang pertama, orang-orangnya dapat dijadikan sebagai hujjah, meski sebagian dari mereka kekuatannya berbeda dengan sebagian lainnya.
  2. Untuk tingkatan yang keempat dan kelima, orang-orangnya tidak bisa dijadikan hujjah. Meski demikian, haditsnya bisa dicatat dan diberitakan, walaupun mereka tergolong tingkatan yang kelima, bukan yang keempat.
  3. Untuk tingkatan keenam, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Meski demikian hadits-hadits mereka dicatat hanya sebagai pelajaran, bukan sebagai sebuah berita (hadits yang bisa diriwayatkan), ini karena menonjolnya ketidakdhabitan mereka.[20]


  1. Tingkatan Jarh dan lafazh-lafazhnya serta hukumnya
    1. Lafazh yang menunjukkan lunak (yaitu yang paling ringan jarhnya). Contohnya, fulanun layyinun al-hadits (si fulan haditsnya lunak), atau fihi maqolun (di dalamnya diperbincangkan).
    2. Lafazh yang menunjukkan tidak dapat dijadikan hujjah, atau yang serupa. Contohnya, fulanun la yuhtaju bihi (si fulan tidak dapat dijadikan hujjah), atau dha’if (lemah), atau lahu manakir (dia haditsnya munkar).
    3. Lafazh yang menunjukkan tidak bisa ditulis haditsnya, atau yang lainnya. Contohnya, fulanun la yuktabu haditsuhu (si fulan haditsnya tidak bisa dicatat), la tahillu riwayatu ‘anhu (tidak boleh meriwayatkan hadits darinya), dha’if jiddan (amat lemah), wahn bi marratin (orang yang sering melakukan prasangkaan).
    4. Lafazh yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta, atau yang sejenisnya. Contohnya, fulanun muttahamun bi al-kadzib (si fulan orang yang dituduh berbuat dusta), muttahamun bi al-wadl’i (orang yang dituduh berbuat palsu), atau yasriqu al-hadits (yang mencuri hadits), atau saqitun (gugur), atau matruk (ditinggalkan), atau laisa bi tsiqatin (tidak tsiqah).
    5. Lafazh yang menunjukkan adanya perbuatan dusta, atau yang semacamnya. Contohnya, kadzdzab (pendusta), atau dajjal, atau wadh’a (pemalsu), atau yukadzdzibu (didustakan), atau yadha’u (pembuat hadit palsu).
    6. Lafazh yang menunjukkan adanya mubalaghah dalam perbuatan dusta. Dan ini tingkatan yang paling buruk. Contohnya, fulanun akdzabu an-nas (si fulan itu orang yang paling pendusta), atau ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia orang yang menjadi pangkalnya dusta), atau huwa ruknu al-kadzbi (dia orang yang menjadi penopang dusta).[21]

Adapun hukum tingkatan-tingkatan tersebut ialah sebagai berikut:
  1. Untuk dua tingkatan yang pertama, maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, akan tetapi hadits-hadits mereka bisa ditulis sebagai pelajaran saja, meski mereka itu termasuk kelompok tingkat yang kedua, bukan yang pertama.
  2. Sedangkan yang termasuk empat tingkat terakhir, hadits-hadits mereka tidak bisa dijadikan hujjah, bahkan tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dijadikan sebagai pelajaran.[22]

  1. Pertentangan antara al-Jarh wa at-Ta’dil
Terkadang, pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian men-tajrih-kannya dan sebagian lainnya men-ta’dil-kannya. Bila keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya.
Dalam masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
  1. Al-Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addil-nyalebih banyak dari pada jarh-nya. Sebab, jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan bathiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’addil. Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama.
  2. Ta’dil didahulukan dari pada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut Ajjaj al-Khathib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang men-tajrih.
  3. Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.
  4. Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan. [23]


PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil adalah “Ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka”. Ilmu al-jarh wa at-ta’dil itu sangat penting untuk dipelajari, karena ilmu itu sangat bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali
Ilmu ini telah tumbuh sejak zaman sahabat, namun baru dikodifikasikan pada masa setelah masa tabi’in, di antara para tokohnya adalah Yahya ibnu Ma’in, Ahmad ibnu Hanbal dll. Dan di antara kitab-kitab yang membahas tentang ilmu ini ialah: Tarikh al-Kabir, karya Bukhari. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dha’if dan Al-Jarhu wa at-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dha’if, ,menyerupai kitab sebelumnya.
Banyak syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi ulama al-Jarh wa at-Ta’dil, di antaranya adalah: Berilmu pengetahuan, takwa, wara’ (orang yang  selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat), jujur, menjauhi fanatik golongan, mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
Al-Jarh wa At-ta’dil mempunyai berbagai macam tingkatan, mulai dari tingkat tertinggi hingga yang terendah. Adakalanya antara al-jarh dan at’dil juga terjadi pertentangan, namun tetap ada solusi untuk hal itu. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil juga mempunyai lafazh-lafazh tertentu untuk mengetahui tingkatan jarh dan ta’dilnya.
Demikianlah makalah kami ini, apabila terdapat kesalahan dan kekhilafan baik dalam penulisan maupun hal lain, kami mohon maaf.


DAFTAR PUSTAKA

‘Itr , Nuruddin, ‘Ulumul Hadits, Bandung: PT REMAJA ROSDA KARYA, 2012.

Sholahuddin, M. Agus dan Suyadi, Agus, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

As-shiddieqy, T.M. Hasby,  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra,  2009.

fayyad, Mahmud Ali, Metodologi penetapan kesahihan hadits, Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Thahan, Mahmud,  Ilmu Hadits Praktis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005

[1] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, Bandung: PT REMAJA ROSDA KARYA, 2012, hlm. 85.
[2] Ibid.
[3] M. Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 157.
[4] Ibid, hlm. 158.
[5] Nuruddin ‘Itr, op.cit, hlm. 84
[6] M. Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, op.cit, hlm 158.
[7] T.M. Hasby as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra,  2009, hlm. 115.
[8] M. Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, op.cit, hlm 158.
[9] Ibid. hlm. 159.
[10] T.M. Hasby as-Shiddieqy, op.cit, hlm. 115
[11] Ibid, Hlm. 116.
[12] Mahmud Ali Fayyad, Metodologi penetapan kesahihan hadits, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hlm. 59.
[13] Ibid, hlm. 60.
[14] Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005, hlm. 193.
[15] Ibid, hlm. 193-194.
[16] Ibid, hlm. 194.
[17] Nuruddin ‘Itr, op.cit. hlm. 85-86.
[18] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, op.cit. hlm. 162.
[19] Mahmud Thahan, op.cit. hlm. 195-196.
[20] Ibid, hlm 196.
[21] Ibid, hlm. 197.
[22] Ibid, hlm. 197-198.
[23] M. Agus Solahuddin dan agus Suyadi, op.cit. hlm. 163.