PEMBAHASAN
I. Hadits Shahih
I.1 Definisi Hadits Shahih
kata Shahih ((الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim ( (السقيم= orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
hadis
yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan
dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari
kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).
Imam
Al-Suyuti mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis yang bersambung
sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz
dan tidak ber’ilat”.
Defisi
hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan
penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama,
apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang
diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi
perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia
riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas
dari tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut:
1) Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir.
2) Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith,
3) Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4) Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
I.2 Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi hadis shahih diatas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya
adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil
secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir
sanadnya.
Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja sebagai berikut;
- Mencatat semua periwayat yang diteliti,
- Mempelajari hidup masing-masing periwayat,
- Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana, akhbarani, ‘an,anna, atau kasta-kata lainnya.
b. Perawinya Bersifat Adil
Maksudnya
adalah tiap-tiap perowi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf
(baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:
- keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
- ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil, sdeperti imam empat Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hambali.
khusus
mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa
seluruh sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari golongan
muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan
‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak.
c. Perowinya Bersifat Dhobith
Maksudnya masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab (tulisan).
Dhobith
dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia
maneriama hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui:
- kesaksian para ulama
- berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.
d. Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.
Menurut al-Syafi’i, suatu hadis tidak dinyastakan sebagai mengandung syudzudz, bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah, sedang periwayat yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis dinyatakan syudzudz, bila hadisd yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah tersebut bertentengan dengan hadis yang dirirwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah.
e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.
I.3. Pembagian Hadis Shahih
Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan perowinya kurang sempurna.
a.Hadis Shahih li dzati
Maksudnya
ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti
adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya,
karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya
ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih
tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali
dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.
I.4 Kehujahan Hadis Shahih
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para
uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi
dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya
sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i,
yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan aqidah.
I.5 Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid
yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti
periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla =
budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid,
yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawash tingkat
pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari
Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid,
yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari
tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya
dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a) Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b) Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c) Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d) Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e) Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f) Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g)
Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari
dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:
1. Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2. Shahih Muslim (w. 261 H).
3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5. Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6. Shahih Ibn As-Sakan.
7. Shahih Al-Abani.
II. HADIS HASAN
II.1 Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal,
yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang
disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia
meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
- definisi al- Chatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukoha’
- definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan.
- definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul.
II.2 Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana
hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasasn pun terbagi
menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.
II.3 Kehujahan Hadis Hasan
Hadis
hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah
hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai
dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal.
Paraulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang
kehujjahan hadis hasan.
III. HADIST DHAIF
III.1 Definisi Hadist Dhaif
Pengertian
hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah.
Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari
Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari
Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif
sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat /
menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun
sifat-sifat hadits hasan”.
III.2 Macam-macam hadits dhaif
Hadist
dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif
karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya
cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang
dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa
rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad,
maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits
dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1) Hadits Mursal
Hadits
mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya
di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada
tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits
dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan
melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits,
seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah).
Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan
sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari
Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah
bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu
menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah,
dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang
meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan
dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan
Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu
tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun,
sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin
Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi
bersifat adil.
2) Hadits Munqathi’
Hadits
munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama
memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu
atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi
di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad
adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat
sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi
yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu
dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :
Rasulullah
SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan
sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah
bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits
di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah,
dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari
Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut
Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah
Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain.
Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut
bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang
diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua
orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya
adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya
“Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
Di
dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang
beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu
dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha.
Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan ,
dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur
adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
4) Hadits mu’allaq
Menurut
bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para
ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di
awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak
disebutkan ).
Contoh :
Contoh :
Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
Berdasarkan
riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik.
Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad
tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits mu’allaq
tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang
terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap
dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis ( yang
menyembunyikan cacat hadits ). Dan sebagian besar dari hadits
mu’allaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat
lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak
macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta,
fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat
menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan
yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi
rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada
perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di
tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi
pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1) Hadits Maudhu’
Menurut
bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat.
Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang
bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada
dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam
dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum
yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic
terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
Hadits
maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW
terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul
SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:
a)
Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia
katakana bahwa hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan
selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya bahtera Nuh
bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua
rakaat” Makna hadits tersebut tidak masuk akal.
b)
adapun hadits lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh
turunan”. Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa
itu tidaklah memikul dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
c)
“Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia
dan anaknya itu masuk surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya
tiga, yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan Muawiyah”.
Demikianlah
sedikit uraian mengenai hadits maudhu’. Masih banyak hadits-hadits
lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah,
berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan, seperti Maisarah bin
Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia mengaku telah membuat beberapa
hadits tentang keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah hadits tentang keutamaan
Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq, sebelum dihukum pancung
ia telah memalsukan hadits dan mengatakan : “aku telah membuat 3000
hadits; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang yang
halal”.
2) Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits
ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para
ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik
berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah
melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad
yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran,
‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab,
dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut,
ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena
itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist
munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal.
Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat,
contoh :
Artinya:
“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan
haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim
)”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4) Hadits Mu’allal
Menurut
bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama
memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung
sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat
pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh :
Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadits
di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan
Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan
hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama,
sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi
‘Amru bin Dinar.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh :
Rasulullah
bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab )
bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal
di taman surga”.
Kalimat
akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di
taman surga ), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut
bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan
bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam
sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh :
Rasulullah
SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka
kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah
ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits
tersebut berbunyi : Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang aku larag kamu
darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya,
maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7) Hadits Syadz
Secara
bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan
para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya
mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat.
Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
Contoh :
“Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
Hadits
di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang
terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits
tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain
yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits
lain tidak dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak pada
adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz
pada matannya. Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.
III.3 Kehujahan Hadits dhaif
Khusus
hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan,
dengan beberapa syarat:
- Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata
yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak
jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau
hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
- Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya
hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul
a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya
itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia
harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
- Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya,
ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini
100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau.
Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian
datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
- Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif :
Sebenarnya
kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dhaif
itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar
dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka
itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam
bidang ilmu hadits serta para spesialis.
Maka
posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok
itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam
konstalasi para ulama hadits.
1) Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun
harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang
ngotot tetap tidak mau terima kalau hadits dhaif itu masih bisa
ditolelir.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di
antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu
Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman
sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Jangan
salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua
hadits dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima
secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’).
Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi
derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di
antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini
antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab
ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga
ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam
As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan
hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan
masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”
3) Kalangan Menengah
Mereka
adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang
terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan
ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat
yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana
diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi
rahimahumalah, adalah:
•
Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits
dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai
pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
• Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
•
Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran
amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan
masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Semua
keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu adalah
pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam
posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda
posisi.
BAB III
KESIMPULAN
Pada
materi hadits dhaif ini, dapat kita petik kesimpulan bahwa kajian
ke-islaman itu sangatlah luas. Menunjukkan betapa maha kuasanya Allah
dalam memberikan kepahaman terhadap hamba-hambanya.
وَاللّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yûsuf [12]: 21)
Meskipun
ada sebagian kaum muslimin mengingkari Qur’an dan Hadits ( terlebih
hadits dhaif ), maka itulah yang perlu kita luruskan bersama. Karena
sesungguhnya Allah SWT. berfirman :
“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesung- guhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”(QS Yunus 36).
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nesehat-menasehati supaya menetapi kebenaran”.(TQS Al-‘Ashr [103] : 1-3)
Terbaginya
hadits dhaif dalam dua bagian; karena gugurnya rawi dan atau karena
cacat pada rawi atau matan semakin memudahkan kita untuk mengetahui
sebab-sebab mengapa hadits-hadits menjadi dhaif, baik dari segi rawinya (
orang yang meriwayatkan ), sanad, maupun matannya.
Setiap
Muslim diperintahkan untuk memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah
islâmiyah). Kepribadian Islam itu mencakup cara berpikir islami
(’aqliyyah islâmiyyah) dan pola sikap islami (nafsiyyah islâmiyah).
Dengan ‘aqliyyah islâmiyyah seseorang dapat mengeluarkan keputusan hukum
tentang benda, perbuatan, dan peristiwa sesuai dengan hukum-hukum
syariah. Dia dapat mengetahui mana yang halal dan mana yang haram serta
mana yang terpuji dan mana yang tercela berdasarkan syariah Islam.
Melalui ‘aqliyyah islâmiyyah seorang Muslim juga akan memiliki kesadaran
dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan
tepat, serta mampu menganalisis berbagai peristiwa dengan benar. Namun,
‘aqliyyah islâmiyyah saja tidak cukup. Banyak ilmu saja tidak cukup.
Tidak jarang, orang pintar bicara, pandai berdebat tentang dalil, tetapi
apa yang diomongkan berbeda dengan apa yang dilakukan.
Karena itu, kepribadian Islam tidak cukup dengan ‘aqliyyah islâmiyyah melainkan harus dipadukan dengan nafsiyyah .
Dengan
mengetahui Ilmu Hadits ( di sini lebih dikhususkan hadits dhaif ),
tentu akan membuat aqliyah kita menjadi semakin terpacu untuk berpikir
dan menggali pengetahuan secara lebih mendalam serta dilandasi nafsiyah (
sikap ) keimanan dan ketakwaan yang mantap, termotivasi untuk terus
mencari dan mengamalkannya karena pembahasan dalam makalah ini hanyalah
berisi sebagian kecilnya saja.
DAFTAR PUSTAKA
Hadits-Ilmu Hadits. Departemen Agama RI. Jakarta, Oktober 1992.
www. eramuslim.com
Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah : Syekh Taqiuddin An-Nabhani,HT I Press
www. eramuslim.com
Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah : Syekh Taqiuddin An-Nabhani,HT I Press
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
DR.H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ulumul Hadis, (Ahzam,Jakarta,2008),148-149
Dr. Mahmud Thohan, ulumul hadis studi kompleksitas hadis nabi, (Titian Ilahi Pres, Yogyakarta, 1997), 40.
H.M.Fadlil Said,alih bahasa dari Kowaidul Asasiyah Fi Ilmi Mustholahul Hadits, (Al-Hidayah,Surabaya, 2007), 21.
Dr. Mahmud Thohan, 41.
Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, 149
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Rasail, Semarang, 2007), 122
Mohammad Nor Ichwan,123
ibid,124
Dr. Abdul Majid Khon, 151
Mohammad Nor Ichwan,125
Ibid,127
Mohammad Nor Ichwan, 129
Dr. Mahmud Thahhan, 51
Dr. Mahmud Thahhan, 65
H.M.Fadlil Said A-Nadwi, 30
Dr. Mahmud Thahan, 66
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah dan pengantar ilamu hadis, (pt. pustaska Rizki Putra,Semarang, 1999), 349
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, 349
Mohammad Nor Ichwan, 136
Ibid, 139
Ibid, 140
Ibid, 141
Ibid. 142
Ibid, 142
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 351
Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag., 139
Mohammad Nor Ichwan, 147
Dr. H. Abdul Majid Khon, 197
http://fastion.multiply.com/journal/item/4/Ulumul_hadits