AL-NASIKH WA AL-MANSUKH
(Metode Memahami Hadits)
a. Pengantar
Mempelajari hadits adalah kebiasaan para ulama hadits dari zaman dahulu hingga sekarang, mereka terus membahasnya, seakan pembahasan yang tak bertepi yang membuat generasi baru pecinta ilmu semakin semangat untuk mencari dan membuat inovasi baru, karena melihat inovasi ulama terdahulu yang seakan tidak pernah bertepi.sebab terkadang inovasi tersebut masih tetap belum mampu membawa para pembaca dengan mudah untuk memahaminya. Dalam memahami dan menerapkan hadits kita juga perlu memahami ilmu hadits yang disebutkan oleh para ulama, agar dalam living sunnahnya tidak mengalami kerancuan atau kesimpang siuran. Di antara ilmu hadits yang paling prinsip adalah ilmu nasikh dan mansukh.
1. Konsep
Al-nasikh wa al-mansukh adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat prinsipil di bidang ilmu hadits, karena dengan mempelajarinya menghilangkan semua kerancuan pada teks sebuah hadits dan dapat mengetahui sejauh mana masa berlaku sebuah hadits dalam pengamalannya di dunia Islam. Namun sebelum membahas lebih jauh saya akan mengawali pembahasan ini tentang definisi nasikh dan mansukh dengan perspektif ulama hadits.
a. Nasikh
Secara etimologi nasikh di ambil dari kata naskh yang memiliki dua arti, pertama; menghilangkan. Kedua; memindahkan. Berarti nasikh adalah yang menghilangkan atau yang memindahkan. Namun arti menghilangkan atau menghapus lebih bisa digunakan dalam kaitannya dengan arti terminology.
Adapun secara terminologi nasikh memiliki banyak tafsiran, di antara ulama ada yang mendefinisikan ia adalah penjelasan berakhirnya masa berlaku sebuah ibadah. Menurut ulama yang lain ia adalah proses menghilangkan sebuah hukum setelah ditetapkan. Namun banyak dari ulama kontenporer yang ketika mendefenisikannya menitik beratkan pada definisi yang diutarakan oleh imam al-Qaadhi, beliau menyatakan:
Mungkin untuk definisi nasikh yang lebih luas dan mudah dipahami adalah definisi versi imam Qaadhi, saya yakin definisi ini lebih tepat untuk diambil dalam pembahasan ini.
b. Mansukh
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa nasikh adalah hukum penghapus atau hukum yang menggantikan hukum terdahulu.Berarti istilah mansukh itu sendiri adalah hukum yang dihapus karena adanya hukum baru.
Jadi menginai konsep nasikh mansuk ringkasnya kami katakan sebagai penghapus dan dihapus; yaitu hukum baru menghapus hokum yang lama, seperti yang dikatakan dan dianut oleh imam Suyuthi serta dikombinasikan dengan defenisi yang disampaikan oleh imam Qadhi di atas. Adapun imam Suyuti sebagaimana yang beliau pilihkan dalam bukunya Tadriib al-Raawi beliau katakan:
“ penghapusan Allah terhadap suatu hukum lama dengan hukum yang baru” [2].
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disarikan bahwa ilmu nasikh mansukh adalah: cabang ilmu hadits yang membahas hadits-hadits yang tampak saling bertabrakan maknanya, yang tidak mungkin dapat diharmoniskan antara satu dengan yang lainnya. Maka otomatis peneliti harus menentukan salah satu hadits sebagai nasikh(penghapus) dan hadits yang lain sebagai mansukh(yang dihapus), tentunya yang pertama adalah hadits mansukh, sedangkan yang datang belakangan sebagai nasikh.
Jadi sederhananya, nasikh adalah yang menghapus hukum lama karena adanya hukum baru, kemudian oleh Allah hukum baru tersebut ditetapkan hingga hari kiamat alias bersifat abadi dan bukan temporal.
c. Apakah nasikh mansukh teks atau interpretasi?
Sejauh pembelajaran kami tentang ilmu hadits, nasikh mansukh adalah interpretasi bukan teks. Karena terkadang ditemukan dua hadits yang lafaz atau teksnya berbeda namun tidak terindikasi sebagai nasikh mansukh namun hanya dianggap dialektika atau fariasi semata. Sebagai contohnya hadits-hadits tentang dzikir dan doa iftitah dalam shalat. Atau hadits-hadits yang berkaitan dengan jumlah basuhan ke anggota-anggota wudhu ketika berwudhu, yang terkadang Nabi melakukannya satu kali basuh, terkadang dua kali dan terkadang tiga kali basuh. dan hadits-hadits yang semisalnya sangatlah banyak.
Oleh karena itu, jika terdapat dua hadits atau lebih yang interpretasinya berbeda dan saling tabrakan walaupun terkadang susunan kalimatnya sama namun tidak bisa dikompromikan maka ia adalah hadits nasikh mansukh, dan model hadits-hadits semacam ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang pertama.
d. Kapan nasikh mansukh dipakai sebagai solusi hadits mukhtalif?
Ketika terdapat dua hadits atau lebih yang bertabrakan interpretasinya maka hadits tersebut dapat disebut sebagai hadits mukhtalif, sementarahadits mukhtalif tersebut menurut para ulama terbagi menjadi dua bagian inti;
Pertama: hadits mukhtalif yang masih bisa diharmoniskan, tanpa menempuh jalur naskh. Dan kedua-duanya harus diamalkan.
Kedua: hadits mukhtalif yang tidak bisa diharmoniskan. Maka solusi dari hadits-hadits yang bertentangan tersebut diberlakukan jalur nasikh mansukh. Karena salah satu dari keduanya pasti ada yang benar dan lainya salah. Maka dengan solusi naskh salah satu hadits dapat diamalkan dan yang lainnya harus diabaikan.
2. Obyek pembahasan
Objek kajian dalam nasikh wa mansukh adalah matan hadits, Spesifiknya adalah pada hadits-hadits yang kami anggap tergolong dalam nasikh dan mansukh, kami akan mengangkat empat hadits untuk mengklarifikasikan sebagai hadits-hadits nasikh mansukh.
3. Urgensi Pembahasan
Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang sangat prinsip bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. sebab dengan mempelajarinya menghilangkan semua kerancuan memahami teks sebuah hadits dan dapat mengetahui sejauh mana masa berlaku sebuah hadits dalam pengamalannya di dunia Islam. Tentang penting dan sulitnya ilmu ini maka Imam az-Zuhri penah berkata:
Beranjak dari perkataan imam az-Zuhri ini, ternyata hadits nasikh dan hadits mansukh ini memang sedikit membebani para penuntut ilmu[4], bahkan para ulama fikih pun mengalami kesulitan untuk mengidentifikasinya.Jika imam yang mulia seperti beliau saja berkomentar seperti itu apalagi kita, tentu saja kita harus lebih banyak dan terus memperdalam ilmu semacam ini untuk mengetahui keabsahan serta sejauh mana masa berlaku sebuah hadits Nabi.
Itulah perjuangan salah satu ulama terdahulu-mewakili yang lain- untuk menyampaikan sunnah Nabi kepada umat ini dengan kemampuan yang mereka miliki. Kemampuan besar yang mereka miliki itu pun masih belum bisa tersampaikan kepada kita, mungkin karena ketajaman pemahaman yang kita miliki masih terbatas. Sebenarnya penjelasan ulama terdahulu yang singkat dan padat itu justru memacu kita untuk bisa berinovasi sendiri dalam memahami dan menerapkan hadits, karena mereka telah membuka jalan kepada kita untuk memahami dan menerapkan hadits, seperti yang telah di lakukan oleh imam syafi’i.
Kalau diteliti, ilmu ini sebenarnya adalah pelengkap pintu ber-ijtihad, karena tiang besar dari ijtihad itu sendiri adalah menguasai nukilan hadits, di antara manfaat dari nukilan adalah mengenal nasikh dan mansukh.Maka apabila seseorang telah mempelajari ilmu ini ia akan dengan mudah meyimpulkan suatu hukum dari sebuah teks hadits tanpa melihat penjelasan para ulama sebelumnya.
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi seorang muslim khususnya peneliti untuk memahami ilmu ini di dalam dunia Islam.
b. Analisa Metode
Sebagian ahli hadits menggunakan naskh apabila mereka kesulitan dalam menggabungkan dua hadits yang bertabrakan dan tidak dapat diharmoniskan, serta di antara keduannya diketehui mana hadits yang muncul belakangan.
1. Lantas apa saja metode yang dipakai untuk mengetahui hadits nasikh mansukh?
Selain mengetahui antara kedua hadits mana yang muncul pertama dan mana yang muncul terakhir sebagai metode mengetahui nasikh mansukh terdapat metode lain untuk mengetahui hadits nasikh mansukh seperti:
1. Menelusuri Pernyataan terang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau :
”Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur.Maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal itu dapat mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).
2. Mengetahui Perkataan dan penjelasan Sahabat.
Sebagai contohnya biasanya mereka mengatakan: “bahwa akhir dari dua perkara yang dilakukan oleh Nabi adalah tidak berwudhu(lagi)dari memakan daging (bakar) yang tersentuh api”(HR. Abu Daud dan Nasai)
Pada metode ini Para ulama Ushul melazimkan sebuah syarat, yaitu adanya keterangan dari mereka(sahabat) akan adanya hadits lain yang datang terakhir untuk menghapus hadits pertama. Berbeda dengan ulama ahli hadits, mereka mengabaikan syarat ini karena menurut mereka tidak ada peluang berijtihad atau berlogika. Sebab ilmu naskh ini hanya dapat dicapai dengan mengetahui fakta sejarah, dan tentu para sahabat lebih hebat dalam sejarah Nabi karena mereka yang langsung melihatnya. Serta mereka lebih berhati-hati menjust hokum sebagai naskh tanpa harus mengetahui akhir sebuah hadits untuk menjadi nasikh[5].
3. Mengetahui sejarah, seperti hadits Syaddad bin ‘Aus :
”Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas :
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim).
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi :
Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Imam Nawawi berkata,”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukkan adanya nasikh[6].
Sebenarnya, problematika naskh dalam hadits tidak serumit dalam al-Qur’an. Namun, sebenarnya tidak juga demikian. Malah sebaliknya, karena pada prinsipnya, al-Qur’an bersifat umum dan universal. Adapun sunnah banyak menangani persoalan-persoalan “partikular dan temporer”, yang dalam hal ini Nabi berposisi sebagai pemimpin umat yang mengatur urusan kehidupan sehari-hari.
Namun, banyak hadits yang diamsumsikan sebagai mansukh, tetapi setelah diteliti ternyata tidak demikian. Hadits-hadits tersebut ada yang mengandung ketetapan(‘azimah). Ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan(rukhshah). Keduanya mempunyai hukum tersendiri sesuai dengan kedudukan masing-masing. hadits terkait oleh kondisi tertentu.
Oleh karena itu, perbedaan situasi tidak berarti adanya naskh. Sebagai contoh, hadits tentang larangan menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari yang kemudian dibolehkan. Atau hadits tentang perintah berbuka puasa ketika berperang melawan musuh, dan jika kita berpuasa setelah berperang pun tidak dikatakan sebagai nasikh terhadap hadits perintah berbuka. kedua hadits ini tidak termasuk kategori naskh tetapi hanya menyangkut larangan dalam situasi tertentu dan kebolehkan dalam situasi yang lain atau sebaliknya.
2. Lantas Bagaimana Proses Memahami Nasikh Mansukh?
Tentang hal ini Imam Syafi’I telah mengisyaratkannya, beliau menyatakan:” apabila ada dua hadits yang keduanya berkemungkinan diamalkan secara bersamaan, keduannya harus diamalkan, dan salah satunya tidak dapat membatalkan yang lainnya. Namun, jika keduanya bertentangan, maka ada dua opsi untuk penyelesainnya.
Pertama: apabila diketehui salah satunya nasikh(menghapus) dan yang lainnya mansukh(dihapus), hadits yang nasikh yang diamalkan dan yang mansukh ditinggalkan[7].
Kedua: apabila tidak diketahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh, kita tidak boleh mengamalkan salah satunya dan meninggalkan yang lainnya, kecuali dengan alasan bahwa hadits yang diamalkan itu lebih kuat(sanadnya) atau lebih dekat dengan maksud al-Qur’an dan hadits Nabi atau lebih layak untuk dilakukan analogi(qiyas) padanya, dan menjadi pegangan mayoritas ulama atau para sahabat Nabi”[8].
Itulah metode para ulama dalam menganalisa hadits-hadits Nabi yang terlihat bertentangan satu dengan yang lainnya. Sebelum melanjutkan studi ini, kita perlu mengetahui metode apa yang akan kami gunakan dalam membahas ilmu nasikh dan mansukh. Dalam pembahasan ini saya akan berusaha memilih dan mengidentifikasi hadits sebagai hadits nasikh mansukh disertai penjelasannya dari empat contoh hadits yang kami anggap sebagai nasikh dan mansukh. Jadi menurut kami metode pendekatannya adalah metode penelitian deduktif dengan metode yang dipakai oleh para ulama di atas .
Perlu saya tekankan bahwa hadits nasikh dan mansukh itu sendiri terkadang termuat dalam sanad dan teks yang berbeda alias terpisah antara hadits nasikh dengan mansukhnya dan terkadang hadits nasikh dan mansukh ini termuat kompleks dalam satu sanad dan teks yang sama.
e. Analisa aplikasi empat hadits
Hadits-hadits yang akan kami angkat sebagai hadits nasikhmansukh yang juga dianggap oleh para ulama sebagai nasikh danmansukhpada kesempatan kali ini adalah sebagai berikut:
1. Hukum Ziarah Kubur
Sebagian para ulama ketika mengomentari hadits ini mereka mengatakan hadits ini telah mansukh dengan hadits yang lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Ibnu Syahin dalam bukunya“nasikh al-hadits wa mansukhuhu” ketika menyebutkan hadits ini. hadits yang me-Nasikh-nya adalah hadits berikut:
Imam Ibnu Syahin berkata:” hadits yang pertama derajatnya shahih dan hadits yang kedua ini juga shahih, hanya saja hadits yang kedua sebagai nasikh hadits pertama”[9].
2. Hadits hukum nikah mut’ah
Dapat dilihatbahwa hadits ini menunjukan pembolehan nikah mut’ah(kawin kontrak)untuk sementara waktu. Hal itu ditunjukan pada ucapan Ibnu Mas’ud “kemudian beliau memberikan dispensasi kepada kami untuk menikahi wanita sampai beberapa waktu dengan memberi sedikit mas kawin”.Ini adalah bagian hukum yang pertama.
Kemudian dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Sabroh bahwa Nabi bersabda: “sesungguhnya aku dahulu telah membolehkan menikahi wanita-wanita dengan cara mut’ah, sekarang(pada waktu penaklukan kota mekah) sungguh Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat“(HR.Muslim).ungkapan ini adalah bagian kedua. Pada penggalan yang kedua ini menunjukan pegharaman dari hukum sebelumnya.Maka penggalan ucapan yang kedua adalah hadits nasikh, sementara penggalan ucapan yang pertama adalah sebagai hadits mansukh.
Para ulama, di antaranya imam Nawawi mengatakan, nikah mut’ah pada mulanya dibolehkan, yaitu ketika permulaan Islam, hanya saja pembolehan dari Nabi ini disebabkan sebuah sebab yang telah disebutkan oleh Ibnu Mas’ud dalam hadits di atas dan kejadian tersebut terjadi ketika mereka sedang bersafar. Padahal Nabi belum pernah membolehkan hal itu ketika mereka berada di rumah-rumah mereka. Oleh sebab itu, berulang kali Nabi melarang mereka melakukan hal itu kemudina pada kondisi yang berbeda-beda beliau juga membolehkannya, sampai akhirnya beliau mengharamkannya pada akhir hari-harinya ketika pelaksanaan haji wada’(perpisahan). Pengharaman ini bersifat abadi selamanya, sehingga tidak lagi ditemukan polemik beda pendapat para ulama kaum muslimin mengenai hukumnya, kecuali yang di amalkan oleh segelintir orang-orang dari Syi’ah saja.
3. Hukum minum sambil berdiri.
Sekilas dari hadits yang mulia ini jelas melarang umat Islam minum dalam keadaan berdiri, imam Ibnu Syahin dalam bukunya“nasikh al-hadits wa mansukhuhu” ketika berbicara tentang hukum minum berdiri. Di mana beliau ketika menyebutkan hadits di atas beliau lalu menyebutkan hadits berikut ini seakan sebagai hadits nasikh. Hadits tersebut adalah:
Setelah dipelajari,hadits pertama di atas ternyatamansukh sebagaimana yang disebutkan oleh imam Ibnu Syahin, beliau berkata:” hadits(pembolehan) ini diancam terhapus, karena telah shahih dari Nabi bahwa beliau melarang minum dalam keadaan berdiri. Juga di dalam hadits lain, beliau melihat seseorang minum berdiri, maka beliau bertanya padanya, apakah kamu mau jika minum bersama kucing? Ia berkata, tidak. Beliau lalu bersabda:” sungguh telah ada orang yang lebih buruk dari kucing minum bersama kamu,(yaitu) syaitan”. Padahal telah shahih dari Nabi bahwa beliau dan juga sahabat beliau pernah minum berdiri, dan pembolehan minum berdiri lebih dekat kepada kebenaran daripada pelarangan. Karena pelarangan tersebut jika benar-benar kuat atau yang terakhir dari dua hukum ini, maka sahabat-sahabat Nabi tentu tidak akan minum dalam keadaan berdiri dan jika minum Nabi dalam keadaan berdiri hanya untuknya, maka tentu tidak akan dibolehkan bagi sahabat-sahabat beliau minum dalam keadaan berdiri, karena perbuatan mereka itu masih pada masa Nabi hidup. Oleh sebab itu hadits pembolehan ini justru lebih pantas sebagai nasikh hadits larangan”.
Jika diteliti kembali, maka sangat berat untuk mengatakan hadits larangan telah di-mansukh dengan hadits pembolehan, karena sebenarnya kedua hadits yang terlihat bertentangan ini masih bisa dikompromikan, mengapa demikian?Karena kita bisa mengambil solusi komparasi.Yaitu, membawa teks larangan tersebut sebagai penjelasan dari Nabi bahwa minum dalam keadaan duduk sunnah dan lebih utama atau karena minum dalam keadaan berdiri akan membahayakan kesehatan maka menghindarinya akan lebih baik. Kemudian kita membawa hadits minum dalam keadaan berdiri sebagai penjelasan dari Nabi bahwa hal itu dibolehkan.
4. Batasan minimal hukuman potong tangan
Menurut imam Ibnu Syahin dalam bukunya”nasikh al-hadits wa mansukhuhu”, bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits yang teksnya” potong tangan itu pada pencuriansenilai satu dinar atau sepuluh(10) dirham“(HR.Ahmad dan lainnya). Oleh karena itu menurut asumsi kami, bahwa imam Ibnu Syahin-walaupun tidak secara tegas mengatakan hadits pertama mansukh-seakan mengatakan hadits kedua ini sebagai nasikh hadits pertama.
Namun jika diteliti lebih dalam, justru hadits yang kedua ini adalah hadits mansukh dari hadits yang pertama, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh imam Nawawi dalam bukunya” al-Minhaj fii syarh shahih Muslim” ketika berbicara tentang hukuman dan batasan minimal pencuruan sang pencuru. Dalam penjelasan beliau yang panjang tersebut, akhirnya beliau memilih pendapat imam Syafi’I dan kebanyakan pendapat para ulama, yang menyatakan bahwa batas minimal barang curian senilai 1/4 dinar atau tiga(3) dirham untuk memberlakukan hukuman potong tangan. Walaupun sebenarnya beliau(imam Nawawi)mengatakan hadits-hadits yang mengatakan batas minimal senilai sepuluh(10)dirham lemah, namun beliau masih tetap berusaha mengkompromikan hadits-hadits ini, sehingga beliau sampai kepada suatu kesimpulan bahwa batas minimal barang curian sepuluh(10)dirham adalah usaha perpaduan pendapat dan bukan sebagai syarat inti untuk memotong tangan si pencuri.
PENUTUP
Kesimpulan
Nasikh ia adalah seruan yang menunjukan terhapusnya sebuah hukum tetap dengan hukum yang baru berdasarkan sebab yang jika bukan karenanya maka pasti hukum(pertama) itu tetap, juga karena (keberadaan) hukum baru itu terakhir”[11].
Jadi untuk definisi nasikh yang lebih luas dan mudah dipahami adalah definisi versi imam Qaadhi, saya yakin definisi ini lebih tepat untuk diambil dalam pembahasan ini.Jadi sederhananya nasikh adalah yang menghapus hukum lama karena adanya hukum baru, kemudian oleh Allah hukum baru tersebut ditetapkan hingga hari kiamat, alias bersifat abadi dan bukan temporal. Sebenarnya dengan adanya nasikh mansukh ini tersimpan hikmah yang amat besar bagi umatnya dalam syariat.
Syari’at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari’at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
As-Sunnah bukan merupakan kesatuan utuh. Diukur dengan nalar yang serba terbatas pasti ada pertentangan satu dengan lainnya. Walaupun sebenarnya masing-masing saling menjelaskan yufassiru ba’dhuhu ba’dha dan saling melengkapi. Sunnah Suci yang terdiri dari ratusan ribu hadits lebih, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan yang mungkin belum terjangkau oleh kita.
Adanya nasikh-mansukh tidak mengurangi keotentikannya sebagai kalam Ilahi yang tersampaikan melalui lisan Nabi Muhammad dan tidak mengurangi tujuan yang ingin dicapainya. Justru adanya nasikh mansukh dalam beberapa masalah akan mencapai tujuan yang diinginkan oleh Allah.mengetahui atau tidak tentang hikmah di balik pertentangan dua hadits yang di kaji, wajib diimani bahwa kebenaran pasti ada di satu kubuh. Karena kebenaran hanya satu.
Wallahu a’lam Bisshawab
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Musa, Muhammad Abu Bakr Zainud Dien, al-I’tibar fii al-nasikh wa al-mansukh min al-aatsaar,( Haidar Abad- Dairatu al-ma’arif al-‘utsmaniyah 1359 H) hal 6.
Ibnu al-Asy’ats, Sulaiman Abu Dawud, al-Sunan(Beirut, Dar al-Kitab al-Arabi)
Ibnu Muslim, Al-Hajjaj, Shahih Muslim(Beirut- Dar al-Jiil)
Al-Baihaqi, ma’rifah as-Sunan wa al-atsar,(Mesir- Dar al-Wafa’ 1412 H) hal 72.
Ibnu ‘Isa, Muhammad Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi(Beirut- Dar Ihya al-Turats al-Arabi)
Ibnu Syaraf, Yahya Nawawi, al-Minhaj Fi Syarh Shahih Muslim(Beirut-Dar al-Ma’rifah: 2008)
Ibnu Syahin, nasikh al-hadits wa mansukhuhu(al-Zarqa’- maktabah al-manar 1988)hal 275.
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawi fi Syarh Taqriib al-Nawawi(Beirut-Libanon- Muassasah al-Risalah: 2005)
Ibnu Shalaah, al-Muqaddimah(Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah: 2010)hlm 291
(Metode Memahami Hadits)
a. Pengantar
Mempelajari hadits adalah kebiasaan para ulama hadits dari zaman dahulu hingga sekarang, mereka terus membahasnya, seakan pembahasan yang tak bertepi yang membuat generasi baru pecinta ilmu semakin semangat untuk mencari dan membuat inovasi baru, karena melihat inovasi ulama terdahulu yang seakan tidak pernah bertepi.sebab terkadang inovasi tersebut masih tetap belum mampu membawa para pembaca dengan mudah untuk memahaminya. Dalam memahami dan menerapkan hadits kita juga perlu memahami ilmu hadits yang disebutkan oleh para ulama, agar dalam living sunnahnya tidak mengalami kerancuan atau kesimpang siuran. Di antara ilmu hadits yang paling prinsip adalah ilmu nasikh dan mansukh.
1. Konsep
Al-nasikh wa al-mansukh adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat prinsipil di bidang ilmu hadits, karena dengan mempelajarinya menghilangkan semua kerancuan pada teks sebuah hadits dan dapat mengetahui sejauh mana masa berlaku sebuah hadits dalam pengamalannya di dunia Islam. Namun sebelum membahas lebih jauh saya akan mengawali pembahasan ini tentang definisi nasikh dan mansukh dengan perspektif ulama hadits.
a. Nasikh
Secara etimologi nasikh di ambil dari kata naskh yang memiliki dua arti, pertama; menghilangkan. Kedua; memindahkan. Berarti nasikh adalah yang menghilangkan atau yang memindahkan. Namun arti menghilangkan atau menghapus lebih bisa digunakan dalam kaitannya dengan arti terminology.
Adapun secara terminologi nasikh memiliki banyak tafsiran, di antara ulama ada yang mendefinisikan ia adalah penjelasan berakhirnya masa berlaku sebuah ibadah. Menurut ulama yang lain ia adalah proses menghilangkan sebuah hukum setelah ditetapkan. Namun banyak dari ulama kontenporer yang ketika mendefenisikannya menitik beratkan pada definisi yang diutarakan oleh imam al-Qaadhi, beliau menyatakan:
أَنَّهُ
الْخِطَابُ الدَّالُّ عَلَىارْتِفَاعِ الْحُكْمِ الثَّابِتِ بِالْخِطَابِ
الْمُتَقَدِّمِ عَلَى وَجْهٍ لَوْلَاهُ لَكَانَ ثَابِتًا بِهِ مَعَ
تَرَاخِيهِ عَنْهُ.
“
ia adalah hukum yang menunjukan terhapusnya sebuah hukum tetap dengan
hukum yang baru berdasarkan sebab yang jika bukan karenanya maka pasti
hukum(pertama) itu tetap, juga karena keberadaan (hukum baru itu)
terakhir”[1].Mungkin untuk definisi nasikh yang lebih luas dan mudah dipahami adalah definisi versi imam Qaadhi, saya yakin definisi ini lebih tepat untuk diambil dalam pembahasan ini.
b. Mansukh
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa nasikh adalah hukum penghapus atau hukum yang menggantikan hukum terdahulu.Berarti istilah mansukh itu sendiri adalah hukum yang dihapus karena adanya hukum baru.
Jadi menginai konsep nasikh mansuk ringkasnya kami katakan sebagai penghapus dan dihapus; yaitu hukum baru menghapus hokum yang lama, seperti yang dikatakan dan dianut oleh imam Suyuthi serta dikombinasikan dengan defenisi yang disampaikan oleh imam Qadhi di atas. Adapun imam Suyuti sebagaimana yang beliau pilihkan dalam bukunya Tadriib al-Raawi beliau katakan:
“ penghapusan Allah terhadap suatu hukum lama dengan hukum yang baru” [2].
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disarikan bahwa ilmu nasikh mansukh adalah: cabang ilmu hadits yang membahas hadits-hadits yang tampak saling bertabrakan maknanya, yang tidak mungkin dapat diharmoniskan antara satu dengan yang lainnya. Maka otomatis peneliti harus menentukan salah satu hadits sebagai nasikh(penghapus) dan hadits yang lain sebagai mansukh(yang dihapus), tentunya yang pertama adalah hadits mansukh, sedangkan yang datang belakangan sebagai nasikh.
Jadi sederhananya, nasikh adalah yang menghapus hukum lama karena adanya hukum baru, kemudian oleh Allah hukum baru tersebut ditetapkan hingga hari kiamat alias bersifat abadi dan bukan temporal.
c. Apakah nasikh mansukh teks atau interpretasi?
Sejauh pembelajaran kami tentang ilmu hadits, nasikh mansukh adalah interpretasi bukan teks. Karena terkadang ditemukan dua hadits yang lafaz atau teksnya berbeda namun tidak terindikasi sebagai nasikh mansukh namun hanya dianggap dialektika atau fariasi semata. Sebagai contohnya hadits-hadits tentang dzikir dan doa iftitah dalam shalat. Atau hadits-hadits yang berkaitan dengan jumlah basuhan ke anggota-anggota wudhu ketika berwudhu, yang terkadang Nabi melakukannya satu kali basuh, terkadang dua kali dan terkadang tiga kali basuh. dan hadits-hadits yang semisalnya sangatlah banyak.
Oleh karena itu, jika terdapat dua hadits atau lebih yang interpretasinya berbeda dan saling tabrakan walaupun terkadang susunan kalimatnya sama namun tidak bisa dikompromikan maka ia adalah hadits nasikh mansukh, dan model hadits-hadits semacam ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang pertama.
d. Kapan nasikh mansukh dipakai sebagai solusi hadits mukhtalif?
Ketika terdapat dua hadits atau lebih yang bertabrakan interpretasinya maka hadits tersebut dapat disebut sebagai hadits mukhtalif, sementarahadits mukhtalif tersebut menurut para ulama terbagi menjadi dua bagian inti;
Pertama: hadits mukhtalif yang masih bisa diharmoniskan, tanpa menempuh jalur naskh. Dan kedua-duanya harus diamalkan.
Kedua: hadits mukhtalif yang tidak bisa diharmoniskan. Maka solusi dari hadits-hadits yang bertentangan tersebut diberlakukan jalur nasikh mansukh. Karena salah satu dari keduanya pasti ada yang benar dan lainya salah. Maka dengan solusi naskh salah satu hadits dapat diamalkan dan yang lainnya harus diabaikan.
2. Obyek pembahasan
Objek kajian dalam nasikh wa mansukh adalah matan hadits, Spesifiknya adalah pada hadits-hadits yang kami anggap tergolong dalam nasikh dan mansukh, kami akan mengangkat empat hadits untuk mengklarifikasikan sebagai hadits-hadits nasikh mansukh.
3. Urgensi Pembahasan
Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang sangat prinsip bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. sebab dengan mempelajarinya menghilangkan semua kerancuan memahami teks sebuah hadits dan dapat mengetahui sejauh mana masa berlaku sebuah hadits dalam pengamalannya di dunia Islam. Tentang penting dan sulitnya ilmu ini maka Imam az-Zuhri penah berkata:
أَعْيَا
الْفُقَهَاءَ وَأَعْجَزَهُمْ أَنْ يَعْرِفُوا نَاسِخَ حَدِيثِ رَسُولِ
اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَمَنْسُوخَهُ
“ parafuqaha telah mengalami kesulitan dan letih untuk mengetahui hadits yang menasikh dan hadits mansukh”[3].Beranjak dari perkataan imam az-Zuhri ini, ternyata hadits nasikh dan hadits mansukh ini memang sedikit membebani para penuntut ilmu[4], bahkan para ulama fikih pun mengalami kesulitan untuk mengidentifikasinya.Jika imam yang mulia seperti beliau saja berkomentar seperti itu apalagi kita, tentu saja kita harus lebih banyak dan terus memperdalam ilmu semacam ini untuk mengetahui keabsahan serta sejauh mana masa berlaku sebuah hadits Nabi.
Itulah perjuangan salah satu ulama terdahulu-mewakili yang lain- untuk menyampaikan sunnah Nabi kepada umat ini dengan kemampuan yang mereka miliki. Kemampuan besar yang mereka miliki itu pun masih belum bisa tersampaikan kepada kita, mungkin karena ketajaman pemahaman yang kita miliki masih terbatas. Sebenarnya penjelasan ulama terdahulu yang singkat dan padat itu justru memacu kita untuk bisa berinovasi sendiri dalam memahami dan menerapkan hadits, karena mereka telah membuka jalan kepada kita untuk memahami dan menerapkan hadits, seperti yang telah di lakukan oleh imam syafi’i.
Kalau diteliti, ilmu ini sebenarnya adalah pelengkap pintu ber-ijtihad, karena tiang besar dari ijtihad itu sendiri adalah menguasai nukilan hadits, di antara manfaat dari nukilan adalah mengenal nasikh dan mansukh.Maka apabila seseorang telah mempelajari ilmu ini ia akan dengan mudah meyimpulkan suatu hukum dari sebuah teks hadits tanpa melihat penjelasan para ulama sebelumnya.
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi seorang muslim khususnya peneliti untuk memahami ilmu ini di dalam dunia Islam.
b. Analisa Metode
Sebagian ahli hadits menggunakan naskh apabila mereka kesulitan dalam menggabungkan dua hadits yang bertabrakan dan tidak dapat diharmoniskan, serta di antara keduannya diketehui mana hadits yang muncul belakangan.
1. Lantas apa saja metode yang dipakai untuk mengetahui hadits nasikh mansukh?
Selain mengetahui antara kedua hadits mana yang muncul pertama dan mana yang muncul terakhir sebagai metode mengetahui nasikh mansukh terdapat metode lain untuk mengetahui hadits nasikh mansukh seperti:
1. Menelusuri Pernyataan terang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau :
”Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur.Maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal itu dapat mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).
2. Mengetahui Perkataan dan penjelasan Sahabat.
Sebagai contohnya biasanya mereka mengatakan: “bahwa akhir dari dua perkara yang dilakukan oleh Nabi adalah tidak berwudhu(lagi)dari memakan daging (bakar) yang tersentuh api”(HR. Abu Daud dan Nasai)
Pada metode ini Para ulama Ushul melazimkan sebuah syarat, yaitu adanya keterangan dari mereka(sahabat) akan adanya hadits lain yang datang terakhir untuk menghapus hadits pertama. Berbeda dengan ulama ahli hadits, mereka mengabaikan syarat ini karena menurut mereka tidak ada peluang berijtihad atau berlogika. Sebab ilmu naskh ini hanya dapat dicapai dengan mengetahui fakta sejarah, dan tentu para sahabat lebih hebat dalam sejarah Nabi karena mereka yang langsung melihatnya. Serta mereka lebih berhati-hati menjust hokum sebagai naskh tanpa harus mengetahui akhir sebuah hadits untuk menjadi nasikh[5].
3. Mengetahui sejarah, seperti hadits Syaddad bin ‘Aus :
”Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas :
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim).
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi :
Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Imam Nawawi berkata,”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukkan adanya nasikh[6].
Sebenarnya, problematika naskh dalam hadits tidak serumit dalam al-Qur’an. Namun, sebenarnya tidak juga demikian. Malah sebaliknya, karena pada prinsipnya, al-Qur’an bersifat umum dan universal. Adapun sunnah banyak menangani persoalan-persoalan “partikular dan temporer”, yang dalam hal ini Nabi berposisi sebagai pemimpin umat yang mengatur urusan kehidupan sehari-hari.
Namun, banyak hadits yang diamsumsikan sebagai mansukh, tetapi setelah diteliti ternyata tidak demikian. Hadits-hadits tersebut ada yang mengandung ketetapan(‘azimah). Ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan(rukhshah). Keduanya mempunyai hukum tersendiri sesuai dengan kedudukan masing-masing. hadits terkait oleh kondisi tertentu.
Oleh karena itu, perbedaan situasi tidak berarti adanya naskh. Sebagai contoh, hadits tentang larangan menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari yang kemudian dibolehkan. Atau hadits tentang perintah berbuka puasa ketika berperang melawan musuh, dan jika kita berpuasa setelah berperang pun tidak dikatakan sebagai nasikh terhadap hadits perintah berbuka. kedua hadits ini tidak termasuk kategori naskh tetapi hanya menyangkut larangan dalam situasi tertentu dan kebolehkan dalam situasi yang lain atau sebaliknya.
2. Lantas Bagaimana Proses Memahami Nasikh Mansukh?
Tentang hal ini Imam Syafi’I telah mengisyaratkannya, beliau menyatakan:” apabila ada dua hadits yang keduanya berkemungkinan diamalkan secara bersamaan, keduannya harus diamalkan, dan salah satunya tidak dapat membatalkan yang lainnya. Namun, jika keduanya bertentangan, maka ada dua opsi untuk penyelesainnya.
Pertama: apabila diketehui salah satunya nasikh(menghapus) dan yang lainnya mansukh(dihapus), hadits yang nasikh yang diamalkan dan yang mansukh ditinggalkan[7].
Kedua: apabila tidak diketahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh, kita tidak boleh mengamalkan salah satunya dan meninggalkan yang lainnya, kecuali dengan alasan bahwa hadits yang diamalkan itu lebih kuat(sanadnya) atau lebih dekat dengan maksud al-Qur’an dan hadits Nabi atau lebih layak untuk dilakukan analogi(qiyas) padanya, dan menjadi pegangan mayoritas ulama atau para sahabat Nabi”[8].
Itulah metode para ulama dalam menganalisa hadits-hadits Nabi yang terlihat bertentangan satu dengan yang lainnya. Sebelum melanjutkan studi ini, kita perlu mengetahui metode apa yang akan kami gunakan dalam membahas ilmu nasikh dan mansukh. Dalam pembahasan ini saya akan berusaha memilih dan mengidentifikasi hadits sebagai hadits nasikh mansukh disertai penjelasannya dari empat contoh hadits yang kami anggap sebagai nasikh dan mansukh. Jadi menurut kami metode pendekatannya adalah metode penelitian deduktif dengan metode yang dipakai oleh para ulama di atas .
Perlu saya tekankan bahwa hadits nasikh dan mansukh itu sendiri terkadang termuat dalam sanad dan teks yang berbeda alias terpisah antara hadits nasikh dengan mansukhnya dan terkadang hadits nasikh dan mansukh ini termuat kompleks dalam satu sanad dan teks yang sama.
e. Analisa aplikasi empat hadits
Hadits-hadits yang akan kami angkat sebagai hadits nasikhmansukh yang juga dianggap oleh para ulama sebagai nasikh danmansukhpada kesempatan kali ini adalah sebagai berikut:
1. Hukum Ziarah Kubur
عن ابن عباس قال لعن رسـول الله زوارات القـبور والمـتخذين علـيها المساجد والسرج
” dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata: Rasulullah- shallalhu ‘Alaihi Wa Sallam-bersabda
Allah telah mengutuk para peziarah kubur dan orang-orang yang membangun
masjid-masjid di atasnya serta menaruh lampu padanya”(HR.Tirmidzi).Sebagian para ulama ketika mengomentari hadits ini mereka mengatakan hadits ini telah mansukh dengan hadits yang lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Ibnu Syahin dalam bukunya“nasikh al-hadits wa mansukhuhu” ketika menyebutkan hadits ini. hadits yang me-Nasikh-nya adalah hadits berikut:
عن ابن بريدة عن ابيه قال قال رسول الله: كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها، فإن في زيارتها تذكرة
”
dari Ibnu Buraidah, dari bapaknya beliau berkata, Rasulullah bersabda:”
dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang
berziarahlah, karena menziarahinya mengingatkan(pada kematian)”(HR.
Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).Imam Ibnu Syahin berkata:” hadits yang pertama derajatnya shahih dan hadits yang kedua ini juga shahih, hanya saja hadits yang kedua sebagai nasikh hadits pertama”[9].
2. Hadits hukum nikah mut’ah
قَالَ
ابْنَ مَسْعُودٍ: كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَيْسَ مَعَنَا نِسَاءٌ ، فَأَرَدْنَا أَنْ
نَخْتَصِيَ ، فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ إِلَى
أَجَلٍ بِالشَّيْءِ
“ Ibnu Mas’ud berkata: dahulu kami bersama Rasulullah-shallalhu ‘Alaihi Wa Sallam-
dalam peperangan sementara tidak ada istri-istri yang bersama kami,
maka kami ingin berkebiri, namun Nabi melarang kami dari perbuatan itu,
kemudian beliau memberikan dispensasi kepada kami untuk menikahi wanita
sampai beberapa waktu dengan memberi sedikit mas kawin”(HR.Bukhari,
Syafi’i dan Ahmad).Dapat dilihatbahwa hadits ini menunjukan pembolehan nikah mut’ah(kawin kontrak)untuk sementara waktu. Hal itu ditunjukan pada ucapan Ibnu Mas’ud “kemudian beliau memberikan dispensasi kepada kami untuk menikahi wanita sampai beberapa waktu dengan memberi sedikit mas kawin”.Ini adalah bagian hukum yang pertama.
Kemudian dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Sabroh bahwa Nabi bersabda: “sesungguhnya aku dahulu telah membolehkan menikahi wanita-wanita dengan cara mut’ah, sekarang(pada waktu penaklukan kota mekah) sungguh Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat“(HR.Muslim).ungkapan ini adalah bagian kedua. Pada penggalan yang kedua ini menunjukan pegharaman dari hukum sebelumnya.Maka penggalan ucapan yang kedua adalah hadits nasikh, sementara penggalan ucapan yang pertama adalah sebagai hadits mansukh.
Para ulama, di antaranya imam Nawawi mengatakan, nikah mut’ah pada mulanya dibolehkan, yaitu ketika permulaan Islam, hanya saja pembolehan dari Nabi ini disebabkan sebuah sebab yang telah disebutkan oleh Ibnu Mas’ud dalam hadits di atas dan kejadian tersebut terjadi ketika mereka sedang bersafar. Padahal Nabi belum pernah membolehkan hal itu ketika mereka berada di rumah-rumah mereka. Oleh sebab itu, berulang kali Nabi melarang mereka melakukan hal itu kemudina pada kondisi yang berbeda-beda beliau juga membolehkannya, sampai akhirnya beliau mengharamkannya pada akhir hari-harinya ketika pelaksanaan haji wada’(perpisahan). Pengharaman ini bersifat abadi selamanya, sehingga tidak lagi ditemukan polemik beda pendapat para ulama kaum muslimin mengenai hukumnya, kecuali yang di amalkan oleh segelintir orang-orang dari Syi’ah saja.
3. Hukum minum sambil berdiri.
عن ابي هريرة قال ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يشرب الرجل قائما
”
dari Abu Hurairah beliau berkata: sesungguhnya Nabi Shallalahu ‘Alaihi
Wasallam telah melarang seseorang yang minum sambil berdiri”(HRBukhari
dan Abu Daud)Sekilas dari hadits yang mulia ini jelas melarang umat Islam minum dalam keadaan berdiri, imam Ibnu Syahin dalam bukunya“nasikh al-hadits wa mansukhuhu” ketika berbicara tentang hukum minum berdiri. Di mana beliau ketika menyebutkan hadits di atas beliau lalu menyebutkan hadits berikut ini seakan sebagai hadits nasikh. Hadits tersebut adalah:
عن ابن عباس ان النبي شرب من زمزم وهو قائم
” dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata: sesungguhnya Nabi minum air zam-zam dalam keadaan berdiri”(HR.Setelah dipelajari,hadits pertama di atas ternyatamansukh sebagaimana yang disebutkan oleh imam Ibnu Syahin, beliau berkata:” hadits(pembolehan) ini diancam terhapus, karena telah shahih dari Nabi bahwa beliau melarang minum dalam keadaan berdiri. Juga di dalam hadits lain, beliau melihat seseorang minum berdiri, maka beliau bertanya padanya, apakah kamu mau jika minum bersama kucing? Ia berkata, tidak. Beliau lalu bersabda:” sungguh telah ada orang yang lebih buruk dari kucing minum bersama kamu,(yaitu) syaitan”. Padahal telah shahih dari Nabi bahwa beliau dan juga sahabat beliau pernah minum berdiri, dan pembolehan minum berdiri lebih dekat kepada kebenaran daripada pelarangan. Karena pelarangan tersebut jika benar-benar kuat atau yang terakhir dari dua hukum ini, maka sahabat-sahabat Nabi tentu tidak akan minum dalam keadaan berdiri dan jika minum Nabi dalam keadaan berdiri hanya untuknya, maka tentu tidak akan dibolehkan bagi sahabat-sahabat beliau minum dalam keadaan berdiri, karena perbuatan mereka itu masih pada masa Nabi hidup. Oleh sebab itu hadits pembolehan ini justru lebih pantas sebagai nasikh hadits larangan”.
Jika diteliti kembali, maka sangat berat untuk mengatakan hadits larangan telah di-mansukh dengan hadits pembolehan, karena sebenarnya kedua hadits yang terlihat bertentangan ini masih bisa dikompromikan, mengapa demikian?Karena kita bisa mengambil solusi komparasi.Yaitu, membawa teks larangan tersebut sebagai penjelasan dari Nabi bahwa minum dalam keadaan duduk sunnah dan lebih utama atau karena minum dalam keadaan berdiri akan membahayakan kesehatan maka menghindarinya akan lebih baik. Kemudian kita membawa hadits minum dalam keadaan berdiri sebagai penjelasan dari Nabi bahwa hal itu dibolehkan.
4. Batasan minimal hukuman potong tangan
عن ابن عمر أن النبي قطع في مجن قيمته ثلاثة دراهم
” dari Ibnu Umar beliau berkata: sesungguhnya Nabi memotong tangan dengan sebab mijan yang nilainya tiga(3) dirham[10]“(HR.Bukhari dan Muslim)Menurut imam Ibnu Syahin dalam bukunya”nasikh al-hadits wa mansukhuhu”, bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits yang teksnya” potong tangan itu pada pencuriansenilai satu dinar atau sepuluh(10) dirham“(HR.Ahmad dan lainnya). Oleh karena itu menurut asumsi kami, bahwa imam Ibnu Syahin-walaupun tidak secara tegas mengatakan hadits pertama mansukh-seakan mengatakan hadits kedua ini sebagai nasikh hadits pertama.
Namun jika diteliti lebih dalam, justru hadits yang kedua ini adalah hadits mansukh dari hadits yang pertama, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh imam Nawawi dalam bukunya” al-Minhaj fii syarh shahih Muslim” ketika berbicara tentang hukuman dan batasan minimal pencuruan sang pencuru. Dalam penjelasan beliau yang panjang tersebut, akhirnya beliau memilih pendapat imam Syafi’I dan kebanyakan pendapat para ulama, yang menyatakan bahwa batas minimal barang curian senilai 1/4 dinar atau tiga(3) dirham untuk memberlakukan hukuman potong tangan. Walaupun sebenarnya beliau(imam Nawawi)mengatakan hadits-hadits yang mengatakan batas minimal senilai sepuluh(10)dirham lemah, namun beliau masih tetap berusaha mengkompromikan hadits-hadits ini, sehingga beliau sampai kepada suatu kesimpulan bahwa batas minimal barang curian sepuluh(10)dirham adalah usaha perpaduan pendapat dan bukan sebagai syarat inti untuk memotong tangan si pencuri.
PENUTUP
Kesimpulan
Nasikh ia adalah seruan yang menunjukan terhapusnya sebuah hukum tetap dengan hukum yang baru berdasarkan sebab yang jika bukan karenanya maka pasti hukum(pertama) itu tetap, juga karena (keberadaan) hukum baru itu terakhir”[11].
Jadi untuk definisi nasikh yang lebih luas dan mudah dipahami adalah definisi versi imam Qaadhi, saya yakin definisi ini lebih tepat untuk diambil dalam pembahasan ini.Jadi sederhananya nasikh adalah yang menghapus hukum lama karena adanya hukum baru, kemudian oleh Allah hukum baru tersebut ditetapkan hingga hari kiamat, alias bersifat abadi dan bukan temporal. Sebenarnya dengan adanya nasikh mansukh ini tersimpan hikmah yang amat besar bagi umatnya dalam syariat.
Syari’at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari’at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
As-Sunnah bukan merupakan kesatuan utuh. Diukur dengan nalar yang serba terbatas pasti ada pertentangan satu dengan lainnya. Walaupun sebenarnya masing-masing saling menjelaskan yufassiru ba’dhuhu ba’dha dan saling melengkapi. Sunnah Suci yang terdiri dari ratusan ribu hadits lebih, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan yang mungkin belum terjangkau oleh kita.
Adanya nasikh-mansukh tidak mengurangi keotentikannya sebagai kalam Ilahi yang tersampaikan melalui lisan Nabi Muhammad dan tidak mengurangi tujuan yang ingin dicapainya. Justru adanya nasikh mansukh dalam beberapa masalah akan mencapai tujuan yang diinginkan oleh Allah.mengetahui atau tidak tentang hikmah di balik pertentangan dua hadits yang di kaji, wajib diimani bahwa kebenaran pasti ada di satu kubuh. Karena kebenaran hanya satu.
Wallahu a’lam Bisshawab
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Musa, Muhammad Abu Bakr Zainud Dien, al-I’tibar fii al-nasikh wa al-mansukh min al-aatsaar,( Haidar Abad- Dairatu al-ma’arif al-‘utsmaniyah 1359 H) hal 6.
Ibnu al-Asy’ats, Sulaiman Abu Dawud, al-Sunan(Beirut, Dar al-Kitab al-Arabi)
Ibnu Muslim, Al-Hajjaj, Shahih Muslim(Beirut- Dar al-Jiil)
Al-Baihaqi, ma’rifah as-Sunan wa al-atsar,(Mesir- Dar al-Wafa’ 1412 H) hal 72.
Ibnu ‘Isa, Muhammad Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi(Beirut- Dar Ihya al-Turats al-Arabi)
Ibnu Syaraf, Yahya Nawawi, al-Minhaj Fi Syarh Shahih Muslim(Beirut-Dar al-Ma’rifah: 2008)
Ibnu Syahin, nasikh al-hadits wa mansukhuhu(al-Zarqa’- maktabah al-manar 1988)hal 275.
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawi fi Syarh Taqriib al-Nawawi(Beirut-Libanon- Muassasah al-Risalah: 2005)
Ibnu Shalaah, al-Muqaddimah(Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah: 2010)hlm 291
[1]Ibnu Musa, Muhammad Abu Bakr Zainud Dien, al-I’tibar fii al-nasikh wa al-mansukh min al-aatsaar,( Haidar Abad- Dairatu al-ma’arif al-‘utsmaniyah 1359 H) hal 6.
[2] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawi(Beirut-Libanon- Muassasah al-Risalah: 2005) hlm 464.
[3] Ibnu Musa, Muhammad Abu Bakr Zainud Dien, al-I’tibar fii al-nasikh wa al-mansukh min al-aatsaar,( Haidar Abad- Dairatu al-ma’arif al-‘utsmaniyah 1359 H) hal 3.
[4]Karena
sulitanya menjumpai manuskrip kuno zaman mereka membuat imam
Zuhri-walaupun beliau adalah sosok yang banyak mengetahui hadits-hadits
Nabi khususnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama kota nabawi
dikala itu-dalam ungkapan beliau yang lain, beliau berkata:” belum ada
satu pun ulama yang mendahuluiku dalam tulisanku(pembukuan hadits-hadits
secara resmi)”.
Padahal jika diteliti, beliau adalah ulama yang diandalkan dalam hadits dan kepadanya orang-orang meminta fatwa agama, namun tetap saja menganggap perkara di atas adalah berat.
Berjalan beberapa tahun muncul generasi-genarasi baru setelahnya, namun belum ada yang mampu menulis semisal spesifik ilmu yang beliau tulis, kecuali ada sebagian kecil dari para ulama yang memaparkannya, namun itupun hanya sekedar isyarat saja dan bukan ulasan secara total.Hingga tiba saatnya seorang sosok ulama yang menjelaskan secara global dan parsial. Beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, beliau adalah pemecah rekor-menurut kami-disiplin ilmu ini, membuka jalan, menyimpulkan makna dan telah mengungkap rahasia-rahasia ilmu ini serta telah menata rapi pembahasan-pembahasannya.
Diantara buktinya adalah ketika Muhammad bin Muslim bin Warah tatkala mendatangi imam Ahmad bin Hanbal, lalu beliau berkata kepadaku, apakah engkau menulis buku-buku as-Syafi’I?, aku berkata: tidak. Beliau berkata:
Imam Syafi’I memang telah menyebutkan beberapa hadits tentang disiplin ilmu ini di dalam bukunya “al-risalah”, namun beliau tidak terlalu jauh menjelaskannya, karena tujuan penulisan buku tersebut bukan semata-mata disiplin ilmu ini, beliau hanya membahas cuplikan-cuplikannya yang telah termuat dalam karya-karyanya, seandainya buku-buku tersebut masih ada wujudnya maka tentu akan memudahkan para peneliti dalam menyelesaikan penelitiannya dan akan memudahkan para penuntut ilmu untuk mempelajarinya, namun apa mau dikata karya-karya tersebut telah habis dimakan massa.
Padahal jika diteliti, beliau adalah ulama yang diandalkan dalam hadits dan kepadanya orang-orang meminta fatwa agama, namun tetap saja menganggap perkara di atas adalah berat.
Berjalan beberapa tahun muncul generasi-genarasi baru setelahnya, namun belum ada yang mampu menulis semisal spesifik ilmu yang beliau tulis, kecuali ada sebagian kecil dari para ulama yang memaparkannya, namun itupun hanya sekedar isyarat saja dan bukan ulasan secara total.Hingga tiba saatnya seorang sosok ulama yang menjelaskan secara global dan parsial. Beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, beliau adalah pemecah rekor-menurut kami-disiplin ilmu ini, membuka jalan, menyimpulkan makna dan telah mengungkap rahasia-rahasia ilmu ini serta telah menata rapi pembahasan-pembahasannya.
Diantara buktinya adalah ketika Muhammad bin Muslim bin Warah tatkala mendatangi imam Ahmad bin Hanbal, lalu beliau berkata kepadaku, apakah engkau menulis buku-buku as-Syafi’I?, aku berkata: tidak. Beliau berkata:
فَرَّطْتَ
، مَا عَرَفْنَا الْمُجْمَلَ مِنَ الْمُفَسَّرِ ، وَلَا نَاسِخَ حَدِيثِ
رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ مَنْسُوخِهِ
حَتَّى جَالَسْنَا الشَّافِعِيَّ.
“ engkau telah menyia-nyiakan(nya), kami tidak sanggup mengetahui hadits mujmal dari yang mufassar dan tidak pula hadits nasikh dari hadits mansukh hingga berguru kepada as-Syafi’I”Imam Syafi’I memang telah menyebutkan beberapa hadits tentang disiplin ilmu ini di dalam bukunya “al-risalah”, namun beliau tidak terlalu jauh menjelaskannya, karena tujuan penulisan buku tersebut bukan semata-mata disiplin ilmu ini, beliau hanya membahas cuplikan-cuplikannya yang telah termuat dalam karya-karyanya, seandainya buku-buku tersebut masih ada wujudnya maka tentu akan memudahkan para peneliti dalam menyelesaikan penelitiannya dan akan memudahkan para penuntut ilmu untuk mempelajarinya, namun apa mau dikata karya-karya tersebut telah habis dimakan massa.
[5] Lihat: Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawi(Beirut-Libanon- Muassasah al-Risalah: 2005) hlm 465.
[6] Lihat: Ibnu Shalaah, al-Muqaddimah(Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah: 2010)hlm 291.
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawi(Beirut-Libanon- Muassasah al-Risalah: 2005) hlm 466.
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawi(Beirut-Libanon- Muassasah al-Risalah: 2005) hlm 466.
[7]Seperti hadits Syaddad bin ‘Aus :”Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas :
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim).
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim).
[8] Al-Baihaqi, ma’rifah as-Sunan wa al-atsar,(Mesir-Dar al-Wafa’ 1412 H) hal 72.
[9] Ibnu Syahin, nasikh al-hadits wa mansukhuhu(al-Zarqa’- maktabah al-manar 1988)hal 275.
[10] Dalam riwayat yang lain, 1/4 dinar.Yaitu senilai dengan 3 dinar.
[11]Ibnu Musa, Muhammad Abu Bakr Zainud Dien, al-I’tibar fii al-nasikh wa al-mansukh min al-aatsaar,( Haidar Abad- Dairatu al-ma’arif al-‘utsmaniyah 1359 H) hal 6.