Sayyid
berasal dari bahasa Arab yang berarti Tuan atau junjungan. Kaum Sayyid
dianggap sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw melalui putrinya Fatimah Az
Zahra. Kaum Sayyid adalah keturunan dari Husein ( Cucu Nabi Muhammad
Saw ). Sayyid adalah sebutan untuk laki- laki dan Sayyidah untuk sebutan
perempuan.
Adapun keturunan yang melalui jalur Hasan ( cucu Nabi Muhammad Saw ) disebut dengan Syarif ( untuk laki - laki ) dan Syarifah ( untuk perempuan).
Kata Sayyid / Syarif dan Sayyidah atau Syarifah digunakan sebagai keterangan saja bukan untuk gelar. Gelar bagi mereka adalah Habib ( kekasih ) untuk laki- laki dan Habibah untuk perempuan.
Mereka terbagi dalam kabilah -kabilah / keluarga / marga yang biasanya terdapat di akhir nama mereka misal Al Habsy, Al Hadad dan lain – lain. Diantara kabilah - kabilah tersebut banyak yang mempunyai pimpinan secara turun temurun yang bergelar Munsib. Para Munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarga.
Ada sejumlah keluarga Sayyid yang dianggap suci dan setara dengan wali, sedangkan golongan lain dianggap sebagai golongan Awas ( ahl al Kasyf ).
Tradisi cium tangan oleh orang yang bukan Sayyid / Syarif kepada kaum Sayyid / Syarif sebagai penghormatan disebut dengan Taqbil.
Gelar habib juga dipakai oleh keturunan Abas bin Abdul Mutallib ( Abbasiyyin ) dan Abi Talib bin Mutallib ( Talbiyyin ).
Allawiyyin adalah sebutan bagi keturunan dari Ahmad bin Isa yang merupakan merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib dan Fatimah az-Zahra.
Mereka yang membatasi gelar sayyid hanya untuk keturunan Nabi Muhammad Saw melalui Fatimah az-Zahra,
tidak akan memasukkan Allawi/Alavis dari jalur Ali bin Abu Thalib
dengan istri yang lain ( Selain Fatimah Az Zahra ) kedalam sayyid.
Jauh
sebelum itu, pada abad - abad pertama Hijriyah, julukan Alawiyin (
Alawi ) digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Ali bin Abi
Thalib, baik nasab secara keturunan ataupun karena persahabatan akrab.
Kemudian sebutan Alawi itu dikhususkan untuk keturunan Hasan dan Husein.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya Alawi hanya berlaku bagi keturunan
Alwi bin Ubaidullah. Alwi adalah anak pertama dari cucu Ahmad bin Isa.
Kaum Arab yang bukan Sayyid / Syarif disebut Qabili.
Kaum Sayyid yang pertama masuk di Indonesia adalah marga Basyaiban dan Azmathkhan
yang hingga kini keturunannya banyak yang sudah berbaur dengan
masyarakat jawa bahkan sudah agak sulit dikenali secara Fisik dan nama
yang kebanyakan sejak pertama masuk ke Indonesia memang sudah
menyesuaikan diri dengan mengganti nama mereka dengan nama Jawa agar
mudah diterima dalam dakwahnya serta membuka diri dengan menikahi kaum
yang bukan Sayyid ( Pribumi ). Berbeda dengan kaum sayyid yang lain yang
kedatangannya jauh sesudah kedua marga tersebut yang masih membatasi
hubungan dan perkawinannya hanya dengan kelompoknya saja, sehingga masih
mudah dikenali dari bentuk fisiknya sebagai etnis arab dan nama marga
yang biasanya disebutkan di belakang namanya seperti Al Habsy, Al Hadad
dan lain - lain. Hal ini sesuai dengan penelitian L.W.C Van Den Berg dalam bukunya Le Hadramawt et Les Colonies Arabes dans l’Archipel Indien (1886) mengatakan:”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan
perantaraan mereka agama Islam tersiar diantara raja-raja Hindu di Jawa
dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain
Hadramawt (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (yakni kaum
Sayyid Syarif Hadramaut) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam
(Nabi Muhammad SAW).”
Dalam buku yang sama hal 192-204, Van Den Berg menulis:”Pada abad XV, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW).
Dalam buku yang sama hal 192-204, Van Den Berg menulis:”Pada abad XV, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW).
Orang-orang
Arab Hadramawt membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang
diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab mengikuti jejak nenek
moyangnya." Perhatikanlah tulisan Van Den Berg ini yang spesifik
menyebut abad XV, yang merupakan abad spesifik kedatangan dan / atau
kelahiran sebagian besar Wali Songo di pulau Jawa. Abad XV ini jauh lebih awal dari abad XVIII yang
merupakan kedatangan kaum Hadramawt gelombang berikutnya yaitu mereka
yang sekarang kita kenal bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad,
Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga hadramawt
lainnya.
Marga Hadramawt yang termasuk sayyid antara lain :
Afiff, Alatas, Alaydrus, Albar, Algadrie, Alhabsyi, AlHamid, AlHadar, AlHadad, AlJufri, Assegaff, Attamimi, AlMuhazir, Baaqil, Baraja (Syekh), Basyaiban, Baridwan, Bawazier, BinSechbubakar, Jamalullail, Maula Dawileh, Maula Heleh /Maula Helah, Shahab, Shihab dll.
Afiff, Alatas, Alaydrus, Albar, Algadrie, Alhabsyi, AlHamid, AlHadar, AlHadad, AlJufri, Assegaff, Attamimi, AlMuhazir, Baaqil, Baraja (Syekh), Basyaiban, Baridwan, Bawazier, BinSechbubakar, Jamalullail, Maula Dawileh, Maula Heleh /Maula Helah, Shahab, Shihab dll.
Adapun
Marga Hadramawt yang termasuk Qabili antara lain : Abud, AbdulAzis,
Addibani, Alkatiri, Ba’asyir , Bachrak, Badjubier, Bafadhal, Bahasuan,
Basyaib, Baswedan, Haneman,Kawilah, Thalib, bahafdullah dll.
Marga keturunan Hasan antara lain :
Marga keturunan Hasan antara lain :
Syambar (Syanabirah)
: Keturunan Sayyid Syambar bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani.
Bersambung pada Sayyid Qatadah bin Idris bin Mutha’in. Bersambung pada
Sayyid Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Kamil bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan
bin Ali bin Abi Thalib. Tersebar di sekitar Makkah dan Tha’if.
Barakat :
Keturunan Barakat bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di sekitar Makkah
dan Tha’if. merekapun banyak yang dikenal dengan marga baru, seperti Al-Ghaits, Nasir, Aal-Muflih dll.
Al-Jazan : Keturunan Sayyid Jazan bin Qaytabay bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Tha’if dan sekitarnya.
Al-Harits : Keturunan Sayyid Muhammad Al-Harits bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Mekkah, Tha’if dan sekitarnya.
Hamud : Bersambung pada Hasan Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Makkah dan sekitarnya.
Al-Hazim :
Keturunan Sayyid Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Makkah,
Jeddah dll. Sebagian mereka dikenal dengan julukan Barakat.
Zaid :
Keturunan Sayyid Zaid bin Muhsin bin Husain bin Hasan bin Abu Numai
Ats-Tsani. Kekuasaan kota Makkah ada pada keluarga mereka selama lebih
dari dua abad sebelum keluarga ‘Aun. Dari mereka banyak yang dikenal
dengan julukan lain, seperti marga Yahya, Abdullah, Ghalib, Musa’id dll.
Al-Amir :
Keturunan Al-Amir Khalid Quthbuddin bin Muhammad bin Hasyim bin Wahhas
bin Muhammad bin Hasyim bin Ghanim. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin
Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun.
Ats-Tsa’labi (Tsa’alibi)
: Keturunan Tsa’lab bin Mutha’in. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun.
Kebanyakan mereka tinggal di pesisir pantai Laut Merah di Jeddah.
Al-Ja’fari :
Keturunan Sayyid Ja’far bin Ni’matullah Al-Akbar bin Ali bin Dawud bin
Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun. Tersebar di Yaman dll.
Al-Jailani :
Keturunan Sayyid Asy-Syehk Abdulqadir Al-Jailani. Bersambung pada
Sayyid Musa Al-Jun. Tersebar di Iraq, Siria, Maroko dll. Di Maroko
mereka lebih dikenal dengan julukan Al-Kailani dan Al-Qadiri.
Az-Za’bi : Keturunan Sayyid Abdul Aziz Az-Za’bi bin Abudulqadir Al-Jailani. Tersebar di Palestina, Jordan, Siria, Beirut dll
Al-Khawaji :
Keturunan Sayyid Ali Al-Khawaji bin Sulaiman bin Ghanim. Bersambung
pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun.
Asy-Syammakhi :
Keturunan Sayyid Syammakh bin Yahya bin Dawud bin Abi Ath-Thayyib.
Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun
bin Abdullah Al-Kamil bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi
Thalib.
Adz-Dzarwi : Keturunan Sayyid Dzarwah bin Hasan bin Yahya bin Dawud Abu Ath-Thayyib.
Al-Anbari : Bersambung pada Adz-Dzarwi.
Thayyib : Bersambung pada Adz-Dzarwi.
Al-Musaawi : Bersambung pada Adz-Dzarwi.
Al-Jauhari (Jawahirah) : Keturunan Asy-Syarif Syaiban bin Yahya bin Dawud Abu Ath-Thayyib.
Al-Idrisi Al-Maghribi
: Keturunan Sayyid Idris bin yang bersambung padan Sayyidina Muhammad
bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Leluhur mereka adalah pendiri Kerajaan
Maroko, kerajaan ini berjaya sampai kini dan secara turun temurun
dikuasai oleh keluarga Al-Idrisi atau Adarisah.
Al-Idrisi Al-Ifriqi : Keturunan Sayyid Idris bin Abdullah bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Abi Thalib. Tersebar di Afrika Utara.
Al-Maliki Al-Hasani : Bersambung pada Al-Idrisi.
Al-Masyhur Al-Hasani
: Marga ini sebenarnya adalah “Bin Masyhur”, namun, pada masa kolonial
Belanda, orang-orang Belanda menyebut “Al-Masyhur” untuk memukul rata
marga-marga Arab dengan awalan “al”
Marga keturunan Al-Husain antara lain :
Ar-Rifa’i :
Keturunan Sayyid Hasan Rifa’ah bin Ali Al-Mahdi bin Al-Qasim bin Husain
bin Ahmad bin Musa bin Abi Sabhah bin Ibrahim Al-Murtadha Al-Ashghar
bin Musa Al-Kazhim bin Ja’far Ash-Shadiq. Mereka tersebar di Bashrah, Kuwait, Palestina, Jordan dan lain-lain.
Al-Kayali : Bersambung pada Ar-Rifa’i.
Ash-Shayyadi : Bersambung pada Ar-Rifa’i.
An-Naqib : Bersambung pada Ar-Rifa’i.
Ar-Rawi :
Keturunan Sayyid Yahya bin Hasun bersambung pada Ar-Rifa’i. Julukan
Ar-Rawi berasal dari kota Rawah yang terletak di wilayah Anbar, Iraq.
Tersebar di berbagai tempat di Iraq dan Siria, merekapun banyak yang
dikenal dengan marga baru, seperti Al-Ubaid, Sawahik dll.
An-Na’im : Bersambung pada Ar-Rifa’i.
Ar-Rajih :
Keturunan Sayyid Rajih bin Abi Numai Al-Awwal. Bersambung Al-Imam Musa
Al-Kazhim. Tersebar di Hijaz, termasuk Tha’if dan sebagainya.
Al-Alawi (Ba’alawi)
: Keturunan Sayyid Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa
bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad
Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Abi Thalib. Tersesebar di
hampir seluruh negeri Islam, termasuk Indonesia berpusat di
Hadhramaut-Yaman. Lebih dari tiga ratus marga bersambung pada Sayyid
Alawi ini, dan masing-masing bersambung melalui Assayyia Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali Khali’ Qisam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi. Sayyid
Muhammad Shahib Mirbath memiliki dua putra, Sayyid Ali dan Sayyid Alawi.
Sayyid Ali mempunyai satu putra yaitu Muhammad Al-Faqih, dan beliau banyak memiliki keturunan. Sedangkan Sayyid Alawi dikenal dengan sebutan Ammil-faqih dan beliau juga memiliki banyak keturunan.
Marga keturunan Ammil-faqih antara lain :
Diantara mereka adalah keluarga Azmatkhan, Al-Haddad, Bin
Semith, Ba’abud Maghfun, Bahasan Thawil, Babathinah, Bin Thahir, Bin
Hasyim, Bashurrah, Ali Lala, ‘Aidid, Bafagih, Basakutah, Bafaraj,
‘Auhaj, An-Nadhir dan Qullatain.
Keturunan Ammil-faqih tidak begitu banyak memiliki pecahan marga sebagaimana keturunan Al-faqih, namun bukan berarti keturunan Ammil-faqih lebih sedikit dari keturunan Al-Faqih, karena banyak dari keturunan Ammil-faqih yang tidak terdaftar, yaitu keturunan Abdullah bin Ammil-faqih yang
dulu hijrah ke Filipina dan berbaur dengan pribumi untuk berda’wah,
juga keluarga Azmatkhan yang tersebar di India, Indonesia dan
sebagainya. Di Indonesia, keluarga dan keturunan Azmatkhan lebih banyak
dari Ba’alawi yang lain, hanya saja mereka sudah njawani, mereka sudah seperti orang Jawa biasa.
Pada
saat Sayyid Husain Jamaluddin (kakek kebanyakan keluarga Azmatkhan
Indonesia) meninggalkan India, beliau pergi bersama tiga orang saudara
beliau, yaitu Sayyyid Qamaruddin, Sayyid Majiduddin dan Sayyid
Tsana’uddin, mereka memasuki daratan Cina dan negeri-negeri lain di
Asia. Nah, bisa jadi mereka juga memeliki banyak keturunan di Cina dan
lainnya, sebagaimana Sayyid Husain Jamaluddin di Indonesia. Kemudian
ditemukan pula saudara Sayyid Husain Jamaluddin yang berna Sayyid
Sulaiman Al-Baghdadi, beliau menjadi Sultan di Tailand dan sebagian
keturunan beliau hijrah ke Indonesia.
Marga Keturunan Al-Faqih antar lain :
Diantara
mereka adalah keluarga Mauladawilah, As-Saqqaf atau Assegaf, Al-Idrus
atau Alaydrus, Bin Syehk Abibakar (biasa disingkat BSA), Al-Atthas atau
Alatas, Bin-syihab atau Shahab, Al-Habsyi, Asy-Syathiri, Maulakhelah,
Baharun, Bafagih, Bilfagih, Ba’agil, Bin’agil, Al-Jufri, Al-Bahar, Bin
Jindan, Al-Munawwar, Al-Hamid, Hamid, Al-Bar atau Albar, Al-Kaf,
Al-Muhdhar, Al-Musawa, Al-Masyhur, Al-Muqaibil, Bin Hadun, Al-Haddar,
Al-Hinduan, Bin Yahya, Mudhar, Al-Baiti, Al-Qadri, Basyaiban,
Basyumailah, Bin Syaikhan, Ash-Shafi, Ba’umar, Al-Ghamri, Bafaraj,
Baraqba, Al-Musawa, Fad’aq, Barum, Bajahdab, Jamalullail, Assirri, Bin
Sahl, Hamdun, Kharid atau Khirid, Khunaiman, Khamur dan masih banyak
lagi yang lainnya.
Keluarga
Al-Alawi atau Ba’alawi berpusat di Hadhramaut, Yaman, kemudian
berpencar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, mereka
dikenal dengan sebutan “Habib”, kecuali keluarga “Azmatkhan” dan “Basyaiban” yang
telah lama berbaur dengan masyarakat Jawa, maka merekapun -yang menjadi
tokoh agama- lebih dikenal dengan julukan semisal Kiai.
Gelar sebutan para Sayyid/ Syarif berdasarkan periode abad
Rabithah Alawiyah :: dalam artikel onlinenya, menyatakan bahwa menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :
Rabithah Alawiyah :: dalam artikel onlinenya, menyatakan bahwa menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :
1. IMAM
(dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan
keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji.
Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa
orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir,
Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin
Bashri.
2. SYAIKH
(dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan
munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan
berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya
jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini
terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam
sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
3. HABIB
(dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan
mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara
mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya
masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di
Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak,
al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama ‘Alawi masa ini
adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir,
daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat
Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf,
Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh
al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
4. SAYYID
(mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran
kecermelangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali
bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar
bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib
Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif
mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang
terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia
dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena
mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di
luar Yaman.
Kebanyakan
dari Masyarakat umum dan bahkan kaum Sayyid / Syarif di Indonesia
menganggap keturunan yang sah apabila para sayyid / syarif tersebut
mempunyai nasab yang tak terputus dari jalur laki - laki, sehingga bila
para Syayyid san Syarif tersebut telah memiliki jalur perempuan kemudian
dianggapnya tidak sah. Hal ini adalah budaya Arab Jahiliyah yang dapat
dibuktikan secara otentik dengan melihat turunnya surat al Quran yang
sebelumnya didasarkan pada kejadian yang dialami Nabi Muhammad Saw yakni
ketika Al-Qasim, putra Rasulullah, wafat dalam usia masih kecil,
terdengarlah berita duka itu oleh beberapa tokoh musyrikin, diantara
mereka adalah Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il. Mereka kegirangan dengan
berita itu, mereka mengejek Rasulullah dengan mengatakan bahwa beliau
tidak lagi memiliki anak laki-laki yang dapat melanjutkan generasi
keluarga beliu, sementara orang Arab pada masa itu merasa bangga bila
memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka.
Menjawab ejekan Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il itu Allah menurunkan surat
Al-Kautsar yang ayat pertamanya berbunyi:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
“Sesungguhnya Kami memberimu karunia yang agung.”
Al-Kautsar
artinya karunia yang agung, dan karunia yang dimaksud dalam ayat itu
adalah bahwa Allah memberi banyak keturunan pada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam melalui putri beliau, Fatimah Az-Zahra’.
Sedangkan
Abu lahab dan ‘Ash bin Wa’il dinyatakan oleh ayat terakhir surat
Al-Kautsar bahwa justru merekalah yang tidak akan memiliki keturunan,
yaitu ayat..
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang yang membencimu itulah yang tidak sempurna (putus keturunan).”
Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah, sampai kini keturunan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam,
melalui Al-Hasan dan Al-Husain putra Fatimah Az-Zahra’, benar-benar
memenuhi belahan bumi, baik mereka yang dikenal sebagai cucu Rasulullah
oleh masyarakat, maupun yang tidak.
Kalau
ada yang berkata bahwa tidak semua Kiai keturunan “Sunan” itu bergaris
laki-laki, bahkan kebanyakan mereka (?) adalah keturunan “Sunan” dari
perempuan, maka pertanyaan itu justru dijawab dengan pertanyaan “kenapa
kalau bergaris perempuan?”. Islam dan “budaya berpendidikan” telah
sepakat untuk membenarkan “status keturunan” dari garis perempuan. Maka
bila ada orang yang membeda-bedakan geris laki-laki dan perempuan maka
berarti orang itu bukan penganut paham Islam dan bukan pula penganut
“budaya berpendidikan.” Dan lebih “tidak berpendidikan” lagi orang yang
mengatakan bahwa hubungan nasab keturunan anak perempuan terputus dari
ayah si perempuan.
Semoga Allah Swt selalu merahmati kita semua fil Jasad, wal batin ngindarRUH amin
Wassalam...
Semoga Allah Swt selalu merahmati kita semua fil Jasad, wal batin ngindarRUH amin
Wassalam...