IMAM SYAFI’I
(SHAHIBUL MADZHAB)
Imam Syafi’i radhiallahu’anhu
adalah Imamul A’dzam pemilik Madzhab Syafi’iyyah yang banyak dianut
oleh jutaan umat Muslim di berbagai penjuru dunia, terutama di kawasan
Asia. Dalam Aqidah Sam’iyyah, para ulama menyatakan bahwa Imam Syafi’i
adalah salah seorang yang wajib diimani keulamaannya dan keilmuannya
oleh tiap-tiap Muslim.
Nasab dan Kelahiran

Ayahnya
adalah seorang ulama Makkah yang hijrah ke Palestina, hingga Imam
Syafi’i lahir di sana, tepatnya di kota Gaza pada tahun 150 H/729 M. Sewaktu
hamil, sang ibu bermimpi melihat bintang keluar dari perutnya,
membumbung tinggi ke atas, lalu pecah tercerai-berai di langit menerangi
daerah-daerah sekelilingnya. Dalam prediksi para ahli, hal itu pertanda
akan lahir seorang bayi yang nantinya memiliki pengetahuan yang luas.
Hari kelahiran Imam Syafi’i itu berbarengan dengan dua kejadian besar
di dunia. Yaitu bersamaan dengan wafatnya Mufti Hijaz, Imam Ibnu Juraij
dan Imam Abu Hanifah (Shahibul Madzhab). Pada tahun 152 H atau saat Imam
Syafi’i berusia dua tahun, ayahnya wafat. Lalu ibunya membawa Imam
Syafi’i pindah ke kota Makkah. Di Makkah, Imam Syafi’i dan ibunya
tinggal di Desa Huzail, desa yang bahasa Arabnya masih murni dan fasih.
Guru-guru di Makkah
Berkat
ketekunan belajar dan inayah dari Allah yang tiada hentinya menjada
Imam Syafi’i, pada usia sembilan tahun, Imam Syafi’i telah mampu
menghafal Al Qur’an, dan setahun selanjutnya telah mampu menghafal kitab
Al Muwatha miliki Imam Malik bin Anas (Shahibul Madzhab), yang kelak
akan menjadi gurunya. Kemudian Imam Syafi’i belajar berbagai ilmu agama
kepada para tabi’it-tabi’in di sana, diantaranya kepada Imam Sufyan bin
Uyanah, Syaikh Muslim bin Khalid Az Zanji, Syaikh Sa’id bin Salim Al
Qaddah, Imam Ismail bin Qunstantin, Syaikh Abdul Hamid bin Aziz dan Imam
Dawud bin Abdurrahman Al Athar. Ulama-ulama itu adalah murid-murid dari
pada ulama tabi’in terkemuka, diantara guru mereka adalah Syaikh
Mujahid bin Jabir, Syaikh Atha bin Abi Rabah dan Syaikh Thawus bin Kisan
(Mufti Makkah sekaligus khadam Imam Ibnu Abbas).
Guru-guru di Madinah
Setelah
dirasa cukup menimba ilmu di kota kelahiran Rasulullah saw, kini Imam
Syafi’i hijrah ke kota tempat makam Rasulullah saw berada, yaitu Madinah
Al Munawwarah. Imam Syafi’i hijrah ke kota nabi pada usia 13 tahun, dan
pada usia 15 tahunnya telah menjadi seorang Mufti Madinah. Madinah
adalah kota yang menjadi gudangnya ilmu agama, yang didiami shahabat
besar seperti Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib. Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, Salman Al Farisi, Ibnu
Abbas, dll. Ilmu mereka kemudian turun kepada para tabi’in seperti
kepada Imam Sa’id bin Musayyib dan Syaikh Urwah bin Zubair. Lalu ilmu
itu turun lagi kepada para tabi’it-tabi’in diantara adalah Imam Ibnu
Syihab Az Zuhri, Imam Nafi Maula Umar, Syaikh Yahya bin Sa’id, dll.
Kemudian ilmu itu turun lagi kepada para ulama yang kemudian menjadi
guru-guru Imam Syafi’i. Diantara mereka adalah Imam Malik bin Anas
(Shahibul Madzhab), Syaikh Abdul Aziz Ad Darawardi dan Syaikh Abdullah
bin Nafi, dan kepada merekalah Imam Syafi’i berguru.
Guru-guru di Hadramaut
Setelah
wafatnya Imam Anas bin Malik pada tahun 179 H, maka Imam Syafi’i
memutuskan untuk meninggalkan kota nabi untuk hijrah lagi ke Hadramaut,
Yaman. Ketika itu usia Imam Syafi’i mencapi 28 tahun. Karena keluasan
ilmunya serta kemuliaan akhlaknya, maka di Hadramaut pun Imam Syafi’i
diangkat oleh penguasa disana menjadi Sekretaris Gubernur dan Mufti
Hadramaut. Di negeri ini juga Imam Syafi’i banyak menimba ilmu agama,
terutama ilmu Fiqih dan Hadits dari para ulama setempat, diantaranya
Syaikh Abi Ayyub Muthraf bin Mazin Ash Shan’ani, Syaikh Abu Abdurrahman
Hisyam bin Yusuf, Syaikh Amir bin Abu Salmah (murid Imam Al Auzai) dan
Syaikh Yahya bin Hasan (murid Imam Laits Al Qalasandari). Sanad ilmu
Fiqih dan Hadits mereka itu semuanya bermuara kepada tiga shahabat
besar, yakni Mu’adz bin Jabal, Ali bin Abi Thalib dan Khalid bin Walid.
Keilmuan
serta akhlaknya yang begitu mulia, yang menyebabkan banyak orang
bersimpati kepadanya, termasuk sang amir, menyebabkan rasa iri dan
dendam dari orang-orang yang tidak menyukai keberhasilan Imam Syafi’i.
Mereka yang dengki kemudian menyebarkan fitnah kepada khalifah di
Baghdad, bahwa Imam Syafi’i adalah penganut Syiah dan berusaha
menyebarkannya di Hadramaut. Hal itu menyebabkan Imam Syafi’i dipanggil
ke Baghdad guna menghadap Khalifah Harun Ar Rasyid dan menjelaskan
perihal yang sebenarnya. Kejadian itu terjadi pada tahun 184 H. Namun
Allah akan selalu melindungi walinya. Di pengadilan tidak terbukti
sedikitpun bahwa Imam Syafi’i adalah seorang Syiah, Imam Syafi’i bebas
dengan penghargaan dari khalifah atas keteguhan dan keluasan ilmunya.
Guru-guru di Baghdad
Setelah
Imam Syafi’i terbebas dari tuduhan menyebarkan faham Syiah, Imam
Syafi’i tidak kembali lagi ke Hadramaut, akan tetapi tetap tinggal di
Baghdad selama dua tahun untuk belajar Madzhab Hanafi dari ulama-ulama
di sana. Imam Syafi’i tinggal di Baghdad dari usia 33 tahun hingga 35
tahun. Di Baghdad, Imam Syafi’i belajar kepada para ulama Madzhab Hanafi
diantaranya, Imam Waki bin Jarrah, Syaikh Hammad bin Usamah, Syaikh
Ismail bin Ulyah, Syaikh Abdul Wahid bin Abdul Majid, Syaikh Muhammad
bin Hasan dan Syaikh Abu Yusuf. Di kota ini pula Imam Syafi’i bertemu
dengan Imam Ahmad bin Hanbal (Shahibul Madzhab) yang kemudian menjadi
muridnya Imam Syafi’i.
Guru-guru di Kairo
Setelah
dirasa cukup menimba ilmu di Baghdad, maka pada tahun 186 H Imam
Syafi’i kembali lagi ke kota Makkah untuk menyebarkan ilmu-ilmu yang
telah didapatnya dari banyak ulama. Imam Syafi’i tetap tinggal di Makkah
selama 15 tahun hingga keberangkatannya ke Negeri Piramid. Pada tahun
200 H atau saat usianya mencapai 50 tahun, Imam
Syafi’i hijrah lagi ke Kairo, Mesir dan tinggal disana selama empat
tahun hingga kewafatannya. Disana, Imam Syafi’i banyak bertemu dengan
para ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Diantara ulama yang ditemui
Imam Syafi’i di Kairo adalah Imam Laits Al Qalasandari. Imam Syafi’i
juga bertemu dengan seorang Sufi wanita yang agung keturunan Rasulullah
saw bernama Syarifah Nafisah binti Hasan Al Anwar.
Wasiat Rasulullah saw
Diantara
keistimewaan Imam Syafi’i adalah dengan diwasiatkannya oleh Rasulullah
saw akan keberadaannya kelak. Ketika zaman Rasulullah saw, yang berbeda
zaman dengan Imam Syafi’i, datangkan seorang syaikh bertanya kepada
Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, sebuah Hadits telah sampai kepadaku
bahwa di bumi ini Allah memiliki wali-wali dengan berbagai tingkatan?”
Lalu Rasulullah saw bersabda menjawab pertanyaan syaikh tersebut,
“Benar, Muhammad bin Idris adalah salah satunya.” Muhammad bin Idris
yang dimaksud Rasulullah saw tidak lain adalah Imam Syafi’i yang lahir
setelah zaman Rasulullah saw.
Diantara
keistimewaannya yang lain adalah, ketika berumur tujuh tahun Imam
Syafi’i bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Rasulullah saw bertanya
kepadanya, “Wahai Muhammad bin Idris, adakah engkau mengetahui siapa
aku?” Imam Syafi’i menjawab, “Aku daripadamu dan engkau daripadaku ya
Rasulullah.” Imam Syafi’i lalu menjelaskan, “Kemudian Rasulullah saw
meletakan mulutnya ke mulutku sehingga bercampur air ludahku dengan air
ludahnya. Lalu setelah itu aku merasa mengetahui semua ilmu-ilmu yang
ada di langit dan di bumi, dan ketika aku bergetar, Rasulullah saw
meletakan tangannya yang mulia ke dadaku, lalu tenanglah zahirku serta
terpancarlah ilmu dari bathinku.”
Kewafatan
Setelah
mengembara ke berbagai negeri dan meraup lautan ilmu dari puluhan
ulama, serta kemudian disebarkannya lagi kepada seluruh umat Muslim
hingga sekarang, akhirnya Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i kembali ke
hadirat Allah pada usia 54 tahun di Kairo, Mesir pada malam Jum’at
selepas Maghrib, tanggal 28 Rajab 204 H. Jenazahnya dimakamkan di
sebelah masjidnya, yakni Masjid Imam Syafi’i, masjid yang dibangun
Sultan Shalahuddin Al Ayyubi untuk menghormati Imam Syafi’i.
Sumber
1. Tarikh Al Baghdad, karangan Imam Khatib Al Baghdadi
2. Hilyatul Aulya, karangan Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al Asfahani
3. Tahdzibul Kamal Fi Asma’ir Rijal, karangan Syaikh Jamaluddin Abi Hajjaj Yusuf Al Mizzi
4. Siar Alamin Nubala, Imam Adz Dzahabi
IMAM SYAFI’I
(SHAHIBUL MADZHAB)
Imam Syafi’i radhiallahu’anhu
adalah Imamul A’dzam pemilik Madzhab Syafi’iyyah yang banyak dianut
oleh jutaan umat Muslim di berbagai penjuru dunia, terutama di kawasan
Asia. Dalam Aqidah Sam’iyyah, para ulama menyatakan bahwa Imam Syafi’i
adalah salah seorang yang wajib diimani keulamaannya dan keilmuannya
oleh tiap-tiap Muslim.
Nasab dan Kelahiran
Imam
Syafi’i bernama asli Muhammad bin Idris yang berasal dari Kabilah Bani
Muthalib, saudara Kabilah Bani Hasyim (Kabilah Rasulullah saw). Nasab
lengkapnya adalah Imam Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin
Syafi’i bin Sa’ib bin Abu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu Manaf
bin Qushay. Nasab Imam Syafi’i dengan nasab Rasulullah saw bertemu di
datuknya yang bernama Qushay. Adapun ibunda Imam Syafi’i bernama
Syarifah Fathimah binti Abdullah bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang
menikah dengan Fathimah Az Zahrah putri Rasulullah saw. Sedangkan istri
Imam Syafi’i yang bernama Sayyidah Hamidah adalah keturunan dari
Khalifah Utsman bin Affan.
Ayahnya
adalah seorang ulama Makkah yang hijrah ke Palestina, hingga Imam
Syafi’i lahir di sana, tepatnya di kota Gaza pada tahun 150 H/729 M. Sewaktu
hamil, sang ibu bermimpi melihat bintang keluar dari perutnya,
membumbung tinggi ke atas, lalu pecah tercerai-berai di langit menerangi
daerah-daerah sekelilingnya. Dalam prediksi para ahli, hal itu pertanda
akan lahir seorang bayi yang nantinya memiliki pengetahuan yang luas.
Hari kelahiran Imam Syafi’i itu berbarengan dengan dua kejadian besar
di dunia. Yaitu bersamaan dengan wafatnya Mufti Hijaz, Imam Ibnu Juraij
dan Imam Abu Hanifah (Shahibul Madzhab). Pada tahun 152 H atau saat Imam
Syafi’i berusia dua tahun, ayahnya wafat. Lalu ibunya membawa Imam
Syafi’i pindah ke kota Makkah. Di Makkah, Imam Syafi’i dan ibunya
tinggal di Desa Huzail, desa yang bahasa Arabnya masih murni dan fasih.
Guru-guru di Makkah
Berkat
ketekunan belajar dan inayah dari Allah yang tiada hentinya menjada
Imam Syafi’i, pada usia sembilan tahun, Imam Syafi’i telah mampu
menghafal Al Qur’an, dan setahun selanjutnya telah mampu menghafal kitab
Al Muwatha miliki Imam Malik bin Anas (Shahibul Madzhab), yang kelak
akan menjadi gurunya. Kemudian Imam Syafi’i belajar berbagai ilmu agama
kepada para tabi’it-tabi’in di sana, diantaranya kepada Imam Sufyan bin
Uyanah, Syaikh Muslim bin Khalid Az Zanji, Syaikh Sa’id bin Salim Al
Qaddah, Imam Ismail bin Qunstantin, Syaikh Abdul Hamid bin Aziz dan Imam
Dawud bin Abdurrahman Al Athar. Ulama-ulama itu adalah murid-murid dari
pada ulama tabi’in terkemuka, diantara guru mereka adalah Syaikh
Mujahid bin Jabir, Syaikh Atha bin Abi Rabah dan Syaikh Thawus bin Kisan
(Mufti Makkah sekaligus khadam Imam Ibnu Abbas).
Guru-guru di Madinah
Setelah
dirasa cukup menimba ilmu di kota kelahiran Rasulullah saw, kini Imam
Syafi’i hijrah ke kota tempat makam Rasulullah saw berada, yaitu Madinah
Al Munawwarah. Imam Syafi’i hijrah ke kota nabi pada usia 13 tahun, dan
pada usia 15 tahunnya telah menjadi seorang Mufti Madinah. Madinah
adalah kota yang menjadi gudangnya ilmu agama, yang didiami shahabat
besar seperti Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib. Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, Salman Al Farisi, Ibnu
Abbas, dll. Ilmu mereka kemudian turun kepada para tabi’in seperti
kepada Imam Sa’id bin Musayyib dan Syaikh Urwah bin Zubair. Lalu ilmu
itu turun lagi kepada para tabi’it-tabi’in diantara adalah Imam Ibnu
Syihab Az Zuhri, Imam Nafi Maula Umar, Syaikh Yahya bin Sa’id, dll.
Kemudian ilmu itu turun lagi kepada para ulama yang kemudian menjadi
guru-guru Imam Syafi’i. Diantara mereka adalah Imam Malik bin Anas
(Shahibul Madzhab), Syaikh Abdul Aziz Ad Darawardi dan Syaikh Abdullah
bin Nafi, dan kepada merekalah Imam Syafi’i berguru.
Guru-guru di Hadramaut
Setelah
wafatnya Imam Anas bin Malik pada tahun 179 H, maka Imam Syafi’i
memutuskan untuk meninggalkan kota nabi untuk hijrah lagi ke Hadramaut,
Yaman. Ketika itu usia Imam Syafi’i mencapi 28 tahun. Karena keluasan
ilmunya serta kemuliaan akhlaknya, maka di Hadramaut pun Imam Syafi’i
diangkat oleh penguasa disana menjadi Sekretaris Gubernur dan Mufti
Hadramaut. Di negeri ini juga Imam Syafi’i banyak menimba ilmu agama,
terutama ilmu Fiqih dan Hadits dari para ulama setempat, diantaranya
Syaikh Abi Ayyub Muthraf bin Mazin Ash Shan’ani, Syaikh Abu Abdurrahman
Hisyam bin Yusuf, Syaikh Amir bin Abu Salmah (murid Imam Al Auzai) dan
Syaikh Yahya bin Hasan (murid Imam Laits Al Qalasandari). Sanad ilmu
Fiqih dan Hadits mereka itu semuanya bermuara kepada tiga shahabat
besar, yakni Mu’adz bin Jabal, Ali bin Abi Thalib dan Khalid bin Walid.
Keilmuan
serta akhlaknya yang begitu mulia, yang menyebabkan banyak orang
bersimpati kepadanya, termasuk sang amir, menyebabkan rasa iri dan
dendam dari orang-orang yang tidak menyukai keberhasilan Imam Syafi’i.
Mereka yang dengki kemudian menyebarkan fitnah kepada khalifah di
Baghdad, bahwa Imam Syafi’i adalah penganut Syiah dan berusaha
menyebarkannya di Hadramaut. Hal itu menyebabkan Imam Syafi’i dipanggil
ke Baghdad guna menghadap Khalifah Harun Ar Rasyid dan menjelaskan
perihal yang sebenarnya. Kejadian itu terjadi pada tahun 184 H. Namun
Allah akan selalu melindungi walinya. Di pengadilan tidak terbukti
sedikitpun bahwa Imam Syafi’i adalah seorang Syiah, Imam Syafi’i bebas
dengan penghargaan dari khalifah atas keteguhan dan keluasan ilmunya.
Guru-guru di Baghdad
Setelah
Imam Syafi’i terbebas dari tuduhan menyebarkan faham Syiah, Imam
Syafi’i tidak kembali lagi ke Hadramaut, akan tetapi tetap tinggal di
Baghdad selama dua tahun untuk belajar Madzhab Hanafi dari ulama-ulama
di sana. Imam Syafi’i tinggal di Baghdad dari usia 33 tahun hingga 35
tahun. Di Baghdad, Imam Syafi’i belajar kepada para ulama Madzhab Hanafi
diantaranya, Imam Waki bin Jarrah, Syaikh Hammad bin Usamah, Syaikh
Ismail bin Ulyah, Syaikh Abdul Wahid bin Abdul Majid, Syaikh Muhammad
bin Hasan dan Syaikh Abu Yusuf. Di kota ini pula Imam Syafi’i bertemu
dengan Imam Ahmad bin Hanbal (Shahibul Madzhab) yang kemudian menjadi
muridnya Imam Syafi’i.
Guru-guru di Kairo
Setelah
dirasa cukup menimba ilmu di Baghdad, maka pada tahun 186 H Imam
Syafi’i kembali lagi ke kota Makkah untuk menyebarkan ilmu-ilmu yang
telah didapatnya dari banyak ulama. Imam Syafi’i tetap tinggal di Makkah
selama 15 tahun hingga keberangkatannya ke Negeri Piramid. Pada tahun
200 H atau saat usianya mencapai 50 tahun, Imam
Syafi’i hijrah lagi ke Kairo, Mesir dan tinggal disana selama empat
tahun hingga kewafatannya. Disana, Imam Syafi’i banyak bertemu dengan
para ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Diantara ulama yang ditemui
Imam Syafi’i di Kairo adalah Imam Laits Al Qalasandari. Imam Syafi’i
juga bertemu dengan seorang Sufi wanita yang agung keturunan Rasulullah
saw bernama Syarifah Nafisah binti Hasan Al Anwar.
Wasiat Rasulullah saw
Diantara
keistimewaan Imam Syafi’i adalah dengan diwasiatkannya oleh Rasulullah
saw akan keberadaannya kelak. Ketika zaman Rasulullah saw, yang berbeda
zaman dengan Imam Syafi’i, datangkan seorang syaikh bertanya kepada
Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, sebuah Hadits telah sampai kepadaku
bahwa di bumi ini Allah memiliki wali-wali dengan berbagai tingkatan?”
Lalu Rasulullah saw bersabda menjawab pertanyaan syaikh tersebut,
“Benar, Muhammad bin Idris adalah salah satunya.” Muhammad bin Idris
yang dimaksud Rasulullah saw tidak lain adalah Imam Syafi’i yang lahir
setelah zaman Rasulullah saw.
Diantara
keistimewaannya yang lain adalah, ketika berumur tujuh tahun Imam
Syafi’i bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Rasulullah saw bertanya
kepadanya, “Wahai Muhammad bin Idris, adakah engkau mengetahui siapa
aku?” Imam Syafi’i menjawab, “Aku daripadamu dan engkau daripadaku ya
Rasulullah.” Imam Syafi’i lalu menjelaskan, “Kemudian Rasulullah saw
meletakan mulutnya ke mulutku sehingga bercampur air ludahku dengan air
ludahnya. Lalu setelah itu aku merasa mengetahui semua ilmu-ilmu yang
ada di langit dan di bumi, dan ketika aku bergetar, Rasulullah saw
meletakan tangannya yang mulia ke dadaku, lalu tenanglah zahirku serta
terpancarlah ilmu dari bathinku.”
Kewafatan
Setelah
mengembara ke berbagai negeri dan meraup lautan ilmu dari puluhan
ulama, serta kemudian disebarkannya lagi kepada seluruh umat Muslim
hingga sekarang, akhirnya Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i kembali ke
hadirat Allah pada usia 54 tahun di Kairo, Mesir pada malam Jum’at
selepas Maghrib, tanggal 28 Rajab 204 H. Jenazahnya dimakamkan di
sebelah masjidnya, yakni Masjid Imam Syafi’i, masjid yang dibangun
Sultan Shalahuddin Al Ayyubi untuk menghormati Imam Syafi’i.
Sumber
1. Tarikh Al Baghdad, karangan Imam Khatib Al Baghdadi
2. Hilyatul Aulya, karangan Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al Asfahani
3. Tahdzibul Kamal Fi Asma’ir Rijal, karangan Syaikh Jamaluddin Abi Hajjaj Yusuf Al Mizzi
4. Siar Alamin Nubala, Imam Adz Dzahabi