SUASANA MENKAJI KITABULLAH (Tahsin Tilawah beserta menghafal ayat2 al-Qur'an) DI Lokasi BANYU URIP SURABAYA
Bersama Pengasuh ( PP HABIBUSSHOLIHIN)

Foto-foto San3 Qur'an Habibussholihin menjelang buber
(buka bersama pada puasa 2013 M).

6 Syarat Menuntut Ilmu
Sungguh agung dan mulia kedudukan seorang ahli ilmu di sisi Allah SWT, Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang dianugerahi ilmu beberapa derajat, sebagaimana Allah firmankan:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Yang artinya: niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Almujadilah ayat 11
Dalam sebuah hadis, nabi pun menyanjung orang alim dengan membandingkannya dengan ahli ibadah sebagaimana beliau sabdakan:
فضل العالم علي العابد كفضل القمر ليلة بدر علي سا ئر الكواكب
Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli
ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang. (HR. Abu Dawud )
Menuntut ilmu hukumnya sangat wajib bagi setiap
muslim yang berakal, baik miskin atau kaya, orang kampung atau pun orang
kota, selama dia berakal sehat wajib hukumnya menuntut ilmu. Dikatakan
dalam Hadis :
طلب العلم فريضة علي كل مسلم
“Menuntut ilmu itu sangat wajib bagi setiap muslim” (HR Ibnu Majah)
Dalam kajian hukum Islam, bahwa standar hidup yang ideal bagi manusia
adalah Haddul Kifâyah, Lâ Haddul Kafaf (batas kecukupan, bukan batas
pas-pasan)[1]. Dan kita tahu bahwa kewajiban dalam menuntut ilmu dimulai
dari rahim ibu sampai liang lahat. Dengan demikian untuk memenuhi
standar hidup yang ideal hendaknya tidak hanya pas-pasan. Dalam kitab
“Ta’lim al-Muta’allim” yang ditulis oleh Imam Al-Zarnuji, beliau menulis
bahwa syarat-syarat mencari ilmu menurut Imam Syafi’i dari Imam Ali bin
Abi Thalib ada 6, yaitu:
أخي لن تنال العلم إلا بستةٍ
سأنييك عن تفاصيلها ببيـان
ذكاء وحرص واجتهاد ودرهم
وصحبة استاذٍ وطول زمان
(Foto San3 HABIBUSSHOLIHIN berbuka puasa)
سأنييك عن تفاصيلها ببيـان
ذكاء وحرص واجتهاد ودرهم
وصحبة استاذٍ وطول زمان
(Foto San3 HABIBUSSHOLIHIN berbuka puasa)
1. Cerdas
Cerdas adalah salah satu syarat untuk menuntut ilmu. Kecerdasan
adalah bagian dari pengaruh keturunan jalur psikis. Dari ayah dan bunda
yang cerdas akan lahir anak-anak yang cerdas, kecuali adanya sebab-sebab
yang memungkinkan menjadi penghalang transformasi sifat-sifat tersebut
baik situasi fisis maupun psikis. Sehat jasmani dan lemah jasmani,
makanan bayi dalam kandungan maupun situasi psikis ayah bunda seperti
semangat dan himmah menuntut ilmu, melakukan kejahatan, emosi, maupun
warna pikiran akan ikut memberikan pengaruh yang besar bagi keturunan.
Itulah buktinya bahwa dari ayah dan bunda yang sama akan lahir anak-anak
dengan kondisi fisik, watak, sifat dan kecerdasan yang berbeda.
Tentang kaitan keturunan dengan ilmu pengetahuan maka kita perlu
mengingat bahwa yang diturunkan dari orangtua adalah tingkat
kecerdasannya saja bukan kekayaan ilmu pengetahuan. Kekayaan ilmu
pengetahuan tidak ada jalan lain kecuali belajar dengan baik. Sabda nabi
SAW:
انما العلم با لتعلم
“Bahwasanya ilmu itu diperoleh dengan (melalui) belajar”. Al-Hadis
Dan yang menjadi masalah sekarang bagaimana anak yang cerdas (karena
keturunan) tetapi tidak memiliki ketekunan dan kesungguhan dalam
menuntut ilmu, jawabannya sudah pasti bahwa dia tidak akan menjadi orang
pandai/‘Alim.
2. Rakus atau Tamak
Rakus adalah (punya kemauan dan semangat untuk berusaha mencari ilmu)
(Foto teman2 penabuh rebana, lantunan sholawat di PP HABIBUSSHOLIHIN Surabaya)
(Foto teman2 penabuh rebana, lantunan sholawat di PP HABIBUSSHOLIHIN Surabaya)
“Kejarlah cita-citamu setinggi langit”. Peribahasa ini memberikan
arti bercita-citalah setinggi-tingginya dan raihlah cita-cita itu sampai
dimana pun. Peribahasa tersebut memberikan motivasi kepada kita untuk
pantang menyerah mengejar cita-cita (pendidikan) kita. Orang yang
menuntut ilmu haruslah seperti peribahasa di atas: “selalu berusaha dan
berusaha menuntut ilmu untuk mencapai cita-cita yang tinggi”. Bahkan
menurut Imam as-Syafi’i, dalam menuntut ilmu janganlah langsung merasa
puas terhadap apa yang telah didapat dan jangan hanya menuntut ilmu di
satu daerah saja.
قال الامام الشافعي في مدح السفر
سافر تجد عوضا عمن تفارقه
وانصب فان لذيذ العيش في النصب
yang artinya:
Pergilah kau, kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Rasul berpesan dalam sebuah hadis:
اطلب العلم و لو بالصين
Walaupun keshasihan hadis ini dipertanyakan, setidaknya hadis ini
memotivasi kita untuk pergi jauh dalam menuntut ilmu dan mengejar
cita-cita.
Allah pun telah mengingatkan agar tidak semua mu’min pergi berperang,
melainkan ada segolongan diantara mereka yang memperdalam ilmu agar
bisa memberi peringatan kepada kaumnya
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً
فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ
لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. At-taubah
ayat 122.
Tiga kategori manusia menurut hadis yang diriwatkan oleh Imam Dailami, Rasulullah bersabda:
من كان يومه خيرا من أمسه فهو رابح، ومن كان يومه مثل أمسه فهو مغبون ومن كان يومه شرا من أمسه فهو ملعون
ada tiga kategori manusia: Beruntung: jika hari ini lebih baik dari kemarin, Merugi: hari ini sama seperti kemarin, Celaka/Dilaknat: hari ini lebih buruk dari kemarin.
Jika iri adalah perbuatan yang dilarang, maka iri kepada orang
berilmu dibolehkan Rasul, dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori,
Rasul bersabda:
لاَحَسَدَ اِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ
مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلْكَتِهِ فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ
الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِيْ بِهَا وَيُعَلِّمُهَا {رواه البخاري}
Tidak ada iri hati (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua perkara, yakni :
- seseorang yang diberi Allah berupa harta lalu dibelanjakanannya pada sasaran yang benar, dan
- seseorang yang diberi Allah berupa ilmu dan kebijaksanaan lalu ia menunaikannya dan mengajarkannya. (HR Al Bukhori)
Di antara jenis penyakit hati adalah sombong, ujub, iri, dengki,
tamak, dst. Jadi di antara bentuk penyakit hati adalah iri dan dengki.
Dalam bahasa Arab atau bahasa agama ia disebut dengan hasad. Hasad
adalah tidak senang melihat seseorang mendapatkan nikmat serta berharap
agar nikmat tersebut lenyap. Dalam hal ini hasad berbeda dengan
ghibthah. Sebab, ghibthah adalah berharap mendapatkan nikmat seperti
yang didapat oleh orang tanpa menginginkan harta itu lenyap dari orang
tadi. Inilah iri yang baik yang disebutkan oleh Nabi saw,
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ
عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ
النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا
أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ
مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ
مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ
Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal, yaitu (1) seseorang yang
Allah ajarkan al-Quran kepadanya. Kemudian ia membacanya malam dan siang
sehingga tetangganya mendengarkannya. Lalu tetangga tersebut berkata,
“Kalaulah aku diberikan karunia seperti si Fulan, maka aku akan beramal
seperti yang ia amalkan”; dan (2) seseorang yang Allah karuniai harta.
Ia menghabiskan hartanya dalam kebenaran. Lalu seseorang berkata,
“Kalaulah aku dikaruniai seperti apa yang dikaruniakan kepada si Fulan,
maka aku akan beramal seperti apa ia amalkan”. (H.R. Bukhari).
3. Penuh Perjuangan dan Sabar
Dikutip dari bukunya Prof. KH. Ali Yafie “Manusia dan Kehidupan”
bahwa manusia pada hakekatnya dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan
yang harus dijawab (tantangan). Seorang manusia harus mampu menjawab
berbagai pertanyaan menyangkut kehidupannya yang terkait dengan berbagai
tantangan dan persoalan. Seorang yang menuntut ilmu sudah barang tentu
akan menghadapi macam-macam gangguan dan rintangan. Selain berusaha maka
bersabarlah untuk menghadapi semuanya itu, dan perlu diketahui bahwa
sabar adalah sebagian dari Iman, “As-Shobru mina al-îmân”. Dan Sabar
disini mengandung arti tabah, tahan menghadapi cobaan atau menerima pada
perkara yang tidak disenangi atau tidak mengenakan dengan ridha dan
menyerahkan diri kepada Allah Swt. Sabda nabi Saw:
الصبر ضياء (رواه مسلم)
“Bersabar adalah cahaya yang gilang-gemilang”. (HR. Muslim)
Sabar artinya tabah, tahan menghadapi cobaan. Orang yang sabar tahan
menerima hal-hal yang tidak disenangi atau tidak mengenakkan dengan
ridha dan menyerahkan diri kepada Allah.
Sabar adalah salah satu akhlak terpuji. Sabar juga merupakan salah
satu kunci untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan hidup. Hidup di dunia
ini penuh dengan tantangan dan cobaan. Manusia dalam menjalani
kehidupannya di dunia ini tidak luput dari ujian dan cobaan, ketika
mengalami ujian dan cobaan kita harus menhadapinya dengan sabar. Sifat
sabar bagaikan cahaya yang terang benderang dalam suasana yang gelap
gulita.
Akan tetapi kesabaran disini harus diartikan dalam pengertian yang
aktif bukan dalam pengertian yang pasif. Artinya nrimo (menerima) apa
adanya tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan. Sesuai ajaran agama
pengertian sabar dan kata-kata sabar itu misalnya dapat ditemukan di
dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran. Yakni satu surat yang terdiri dari 200
ayat yang menjelaskan tentang keseluruhan perjuangan besar dan berat
yang telah dilakukan rasulullah Saw sepanjang hidupnya dan itu semua
direkam dalam Surat Ali Imran. Ada dua perjuangan berat dan sangat
menentukan yaitu pertempuran badar dan uhud. Di dalamnya terdapat banyak
kata-kata sabar, tetapi kata-kata sabar itu selalu diletakan dalam
konteks perjuangan bukan dalam konteks seseorang ditimpa musibah. Dengan
demikian dapat diperoleh gambaran dan kesimpulan pengertian bahwa sabar
yang aktif itu artinya suatu mentalitas ketahanan belajar, memiliki
mental yang kuat untuk tekun belajar dan berusaha keras seoptimal
mungkin dengan penuh daya tahan, tidak jemu, tidak bermalas-malasan,
tetapi belajar dengan penuh semangat. Selain itu, dalam belajar harus
berkonsentrasi karena jika belajar pikirannya bercabang maka tidak bisa
optimal. Salah satu bagian dari sabar adalah Hudurul Qalb atau
berkonsentrasi.
4. Bekal (biaya)
Setiap perjuangan pasti ada pengorbanan, itulah logikanya, manusia
menjalani hidup ini butuh pengorbanan begitupun menuntut ilmu. Biasanya,
dalam hal biaya ini menjadi dalih masyarakat yang sangat utama dalam
menuntut ilmu khususnya pada pendidikan formal. Sehingga ketika ditanya
salah seorang yang tidak belajar di pendidikan formal misalnya, “kenapa
kamu atau dia tidak sekolah?” jawabannya sungguh gampang sekali, “saya
atau dia tidak sekolah karena tidak punya biaya.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan wajib hukumnya bagi setiap muslim, dan dijelaskan lagi dalam hadis
اطلب العلم من المهد الي اللحد
“Tuntutlah ilmu mulai dari rahim ibu sampai liang lahat”. Dari hadis tersebut kita bisa mengetahui long life education bahwa, seumur hidup kita wajib menuntut ilmu. Pendidikan bukan hanya pendidikan formal tetapi non formal pun ada.
Rasul menjanjikan kepada para penuntut ilmu,
ان الله تكفل لطالب العلم برزقه
“Sesungguhnya Allah pasti mencukupkan rezekinya bagi orang yang menuntut ilmu”
Dalam lafal hadis di atas tertulis lafazh takaffala dengan
menggunakan fi’il madhy yang aslinya mempunyai arti ‘telah mencukupkan’
yang “seolah-olah” sudah terjadi. Maka lafazh tersebut mempunyai makna
pasti, asalkan dibarengi dengan keyakinan terhadap kekuasaan Allah. Dan
yakinkanlah bagi para penuntut ilmu walaupun dengan segala kekurangan
(biaya) pasti mampu atau bisa menyelesaikan pendidikan. Karena pasti
akan ada jalan lain selama manusia berusaha dan yakin terhadap kekuasaan
dan pertolongan Allah Al-Yaqinu Lâ Yuzâlu bis-Syak Artinya: ”keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keragu-raguan”.
Dan akhirnya maka tidak ada alasan orang tidak bisa menuntut ilmu
karena biaya, seperti keterangan sebelumnya carilah jalan lain, solusi
lain untuk bisa menuntut ilmu.
5. Bersahabat dengan Guru
Ilmu didapat dengan dua cara. Pertama dengan bil kasbi. Yakni didapat
dengan cara usaha keras sebagaimana layaknya pencari ilmu biasa. Ia
belajar menuntut ilmu dengan tekun belajar dari bimbingan yang benar.
Kedua dengan bil kasyfi. Yakni dengan cara mendekatkan diri kepada Allah
Swt secara total. Dengan kedekatannya kepada Allah Swt, Allah akan
memberi apa yang ia minta. Cara ini adalah cara untuk orang khusus.
Sebagai penuntut ilmu berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat
mengkorelasikan keduanya. Juga, berusaha semaksimal mungkin untuk
mendapat petunjuk guru karena tanpa petunjuk guru dan tanpa taqarrub
(ibadah mendekatkan diri) total kepada Allah bisa jadi ilmu tersebut
datangnya dari iblis la’natullah ‘alaih. Profesionalisme guru artinya
seorang guru harus mampu menguasai pelajaran sesuai dengan bidangnya.
Sebagai guru haruslah mempunyai sifat-sifat yang mencerminkan
kemuliaan ilmu dan tabi’at (akhlaq) yang baik. Kita analogikan seorang
petani profesional akan merawat tanamannya dari rumput pengganggu, ia
akan membasmi hama dan penyakitnya. Demikian pula seorang pendidik
haruslah membersihkan dirinya dari segala kebiasaan buruk dalam
masyarakat. Ia akan tanggap dan waspada dengan para penyeru maksiat.
Hendaklah ia membenahi dirinya sebelum ia menebarkan benih-benihnya. Ia
harus menanamnya dalam lahan yang subur. Hendaklah ia menyibukkan diri
dengan amal kebaikan, kesibukan-kesibukan akhirat yang akan menjadi
tameng dari syahwat dan syubhat. Kemudian sebaik-baik pendidik adalah
yang konsisten dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang tercermin lewat
akhlak dan amalan-amalannya yang shalih. Cerdas dalam mendeteksi
penyakit hati serta berpengalaman dalam mengobatinya, remaja yang tumbuh
dari pendidikan—tarbiyah—yang baik maka akan menjadi buah yang segar
nan ranum. Ia bermanfaat bagi diri dan masyarakat sekitar.
Beberapa ciri-ciri tabi’at guru (pendidik) yang harus ditanamkan adalah sebagai berikut:
Mencintai pekerjaannya sebagai guru
Adil terhadap semua murid
Sabar dan tenang
Berwibawa (dilihat dari ilmu dan taqwanya) serta kemampuan memengaruhi orang lain
Selalu ikhlas mendoakan muridnya
Berusaha ikhlas mengajarkan ilmunya.
Akibat dari sikap cuek terhadap guru, diungkapkan dalam sebuah pepatah arab:
إن المعـلمَ والطبيبَ كلاهُما لا يَنْصَحَانِ إذا همـا لم يُكْرَمَـا
فاصبر لدائك إن أهنتَ طَبِيبَهُ واصبر لجهلك إن جَفَوْتَ مُعلّما
فاصبر لدائك إن أهنتَ طَبِيبَهُ واصبر لجهلك إن جَفَوْتَ مُعلّما
Sesungguhnya pengajar/guru dan thabib/dokter keduanya tidak akan
memberi nasehat jika keduanya belum dihormati. Maka bersabarlah dengan
rasa sakitmu jika engkau menjauhi dokter, dan nikmatilah kebodohanmu
jika engkau menjauhi guru.
Sementara dalam menghormati guru, Imam Ali bin Abi Thalib berkata:
من علمني حرفا صرت له عبداً
Barang siapa mengajarkan kepadaku satu huruf, maka aku menjadi hamba baginya.
6. Waktu yang lama
Maksudnya selesaikanlah pendidikan itu samapai tuntas, jangan sampai berhenti di tengah jalan
Imam Syafi’I pernah berkata:
ومـــن لــم يذق مـــر التعلم ســـاعة = تجرع ذل الجهـل طـــول حياتــه
ومــــن فاتــه التعليم وقـــــت شبابه = فكبــــر عليه أربعـــــا لـــــوفاته
وذات الفتى – والله – بالعلم والتقى = إذا لـــم يكونا لا اعتبـار لــذاته
ومــــن فاتــه التعليم وقـــــت شبابه = فكبــــر عليه أربعـــــا لـــــوفاته
وذات الفتى – والله – بالعلم والتقى = إذا لـــم يكونا لا اعتبـار لــذاته
Imam Syafi’i Rahimahullah dalam syairnya berkata :
“Barang siapa tidak pernah merasakan pahitnya belajar meski sekejap. Dia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hayatnya
Barang siapa yang ketinggalan belajar waktu mudanya. Maka bertakbirlah 4 kali (shalat mayit) untuk wafatnya (kematiannya)
“Barang siapa tidak pernah merasakan pahitnya belajar meski sekejap. Dia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hayatnya
Barang siapa yang ketinggalan belajar waktu mudanya. Maka bertakbirlah 4 kali (shalat mayit) untuk wafatnya (kematiannya)
Jati diri seorang pemuda Demi Allah adalah dengan ilmu dan taqwa.
Jika keduanya tiada, dia juga dianggap telah tiada (Diwanus Syafi’i, hal
29)
Imam Syafi’I juga pernah curhat kepada gurunya Imam Waki’ tentang susahnya mendapatkan ilmu:
شكوت الى وكيع سوء حفظي
فأرشدني إلى ترك ترك المعاصي
فأرشدني إلى ترك ترك المعاصي
وأخبرني بأن العلم نور
ونور الله لا يهدى لعاصي
ونور الله لا يهدى لعاصي
Aku mengadu kepada Imam Waki’i tentang susahnya menghafal atau
mendapatkan ilmu. Maka Imam Waki’i memberiku petunjuk untuk meninggalkan
maksiat dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya
Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Dalam sebuah hadis Rasulullah menekankan peranan ilmu sebagai kunci dalam meraih kesuksesan di dunia dan akhirat:
«من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم ومن أرادهما معا فعليه بالعلم أيضا»
“Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia, hendaklah dengan
ilmu. Siapa yang ingin kehidupan akhirat dengan ilmu. Dan siapa yang
menginginkan keduanya (dunia & akhirat) juga dengan ilmu” [HR
Bukhari & Muslim]
Namun satu hal yang perlu diingat, walau pun kita meraih kesuksesan,
hendaknya kita tetap rendah hati atau tawadhu, sebagaimana diungkapkan
dalam sebuah pepatah:
تواضع تكن كالنجم لاح لناظر
على صفحات الماء وهو رفيع
ولاتك كالدخان يعلو بنفسه
الى طبقات الجو وهو وضيع
على صفحات الماء وهو رفيع
ولاتك كالدخان يعلو بنفسه
الى طبقات الجو وهو وضيع
Bertawadhulah seperti bintang yang jelas nampak terlihat di atas
permukaan air padahal ia berada di tempat yang tinggi, dan janganlah
engkau seperti asap, yang terus membumbung tinggi, padahal ketika sampai
di udara ia menghilang.
Wallahu a’lam bisshowab!