Lihatlah akhlaq Imam Syafi’i dan betapa tawadhu’ nya beliau dalam berdebat. Beliau diam ketika terlihat kebenaran atas pendebatnya. Tanpa meninggikan suara apalagi menjatuhkan
IMAM Syafi’i, salah satu imam madzhab empat. Ulama yang lahir di Gaza 150 H dan wafat di Mesir 204 H ini dikenal sebagai mujtahid mutlak. Beliau dikenal dengan beberapa karyanya antara lain Al Umm (fiqih), Ar Risalah (ushul fiqih), dll.
Tidak diragukan lagi bahwa Imam Syafi’i amat akrab dengan perdebatan,
beberapa ulama besar pun pernah terlibat perdebatan dengannya, seperti
Muhammad bin Al Hasan, Syeikh ahlu ra’yi,
sahabat sekaligus “ustadz” Imam Syafi’I sendiri, juga Asbagh bin Al
Farj bin Sa’di, faqih dari kibar ulama madzhab Maliki di Mesir, begitu pula pernah berdebat dengan Imam Ahmad bin Hambal tentang kekufuran mereka yang meninggalkan shalat.
Akan tetapi setiap ia berdebat dengan ulama lain ia selalu menggunakan adab dan sopan santun serta tidak mencela lawannya.
Adalah Abu Utsman, putranya pernah mengatakan: “Aku sekali-kali tidak
pernah mendengar ayahku mendebat seseorang dengan meninggikan
suaranya.” (Tahdzibul Asma’ Wal Lughat, hal. 66, vol.1).
Ahmad bin Kholid bin Kholal berkata: “Aku mendengar Syafi’i berkata,
“ketika aku mendebat seseorang aku tidak menginginkan dia jatuh kepada
kesalahan.” (Tawaliyut Ta’sis, hal. 65)
Syafi’i sendiri juga pernah berkata: “Aku berdebat tidak untuk menjatuhkan orang.” (Tahdzibul Asma Wal Lughat, hal 66, vol.1)
Hafidz Ad Dzahabi menukil di Siar A’lamin Nubala’, dari Imam Hafidz Abu Musa
Yunus bin ‘Abdul A’la Ashodafi Al Misri, salah satu sahabat Imam
Syafi’i, dia berkata: “Aku tidak melihat orang berakal melebihi
Syafi’i, aku mendebatnya tentang suatu masalah pada suatu hari, kemudian
kami berpisah, lalu dia menemuiku, dan menggandeng tanganku, lalu
berkata: “Wahai Abu Musa, bukankan lebih baik kita tetap berteman walau
kita tidak sepakat dalam satu masalah?”
Berkata Imam Ad Dzahabi: “Ini menunjukkan kesempurnaan akal imam ini, dan faham atas dirinya…” (Siar A’lam An Nubala’ hal. 16, vol. 10).
‘Alamah Murtadha Az Zabidi berkata dalam Syarh Ihya’ ketika imam Ghazali membahas tentang perdebatan-perdebatan para salafus shalih, bagaimana hal itu terjadi di antara mereka, bagaimana mereka mempertahankan al haq dengan adab
dan sopan santun, berkatalah Murtadha Az Zabidi: “Salah satu di
antarnya adalah perdebatan Ishaq bin Rahuyah dengan Imam Syafi’i, dan
Ahmad bin Hambal hadir pula di tempat itu, aku telah membaca dari Kitab Nasikh Wal Mansukh,
karya Hafidz Abu Al Hasan Badali bin Abil Ma’mar At Tibrizi:
“…Dikisahkan bahwa Ishaq bin Rahuyah mendebat Syaf’i, dan Ahmad bin
Hambal ada di tempat itu juga, tentang hukum kulit bangkai jika disamak.
Maka, berkatalah Syafi’i: “Jika disamak maka menjadi suci.” Maka
berkatalah Ishaq: “Apa dalilnya?” Maka Syafi’i menjawab: “Hadits Az
Zuhri dari ‘Ubaidillah bin Abdullah bin Abdullah, dari Ibnu ‘Abbas, dari
Maimunah, bahwa sesungguhnya Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Was Salam
bersabda: “Tidakkah kalian memanfaatkannya dengan cara menyamaknya?”
Maka berkatalah Ishaq kepadanya: “Hadits Ibnu ‘Ukaim: “Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Was Salam telah menulis untuk kami, kira-kira sebulan
sebelum beliau meninggal, “Jangan memanfaatkan sesuatu dari bangkai
dengan, baik kulitnya maupun dagingnya.” Hadits ini sepertinya memansukh hadits Maimunah, karena datang satu bulan sebelum wafat”.
Maka berkatalah Syafi’i: “Ini tulisan dan tadi (hadits Maimunah)
ucapan.” Ishaq menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
menulis untuk Kisra dan Qoishar, dan hal itu hujjah di antara mereka dihadapan Allah, dan diamlah Syafi’i.
Dan ketika Ahmad bin Hambal mendengar hal itu, dia memilih hadits
Ibnu ‘Ukaim dan berfatwa dengannya, dan sebaliknya Ishaq malah condong
kepada hadits Syafi’i.
Berkata Abu Al Hasan At Tibrizi: “Khalal telah mengisahkan dalam kitabnya, bahwa Ahmad bin Hambal tawaquf terhadap hadits Ibnu ‘Ukaim ketika melihat tazalzul (kegoncangan) dalam periwayatannya, dan ada beberapa yang mengatakan bahwa Imam Ahmad meninggalkan hadits tersebut.”
Cara inshaf dalam masalah ini adalah, bahwa hadits Ibnu ‘Ukaim kalau dilihat secara dhahir memang menunjukan nashk jika sahih, akan tetapi hadit tersebut itthirab
(guncang), maka dia tidak sebanding kesahihannya jika dihadapkan dengan
hadits Maimunah, berkata Abu ‘Abdurrahman An Nasai: “Yang paling sahih dalam masalah ini adalah hadits Maimunah.” (Syarhul Ikhya’, hal.291, vol.1)
Abdul Fattah Abu Ghuddah mengomantari nukilan di atas: “Lihatlah, inshaf Ishaq yang meninggalkan pendapatnya setelah jelasnya kebenaran, dan adab Syafi’i dan tawadhu’nya, di mana ia diam ketika terlihat kebenaran atas pendebatnya.”/Thoriq