PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Pada masa Rasulullah
masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman Umayyah sehingga
akhir abad pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut
(lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun
hadits-hadits nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam
hafalan yang terkenal kuat. Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan
hafalan para sahabat dan para tabi’in benar-benar sulit tandingannya.
Hadits nabi tersebar ke
berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke seluruh
penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal
dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi makin
bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh
Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
Yang dimaksud dengan
pemalsuan hadits ialah menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW kemudian
dikatakan dari Nabi SAW. Berbagai motifasi yang dilakukan mereka dalam hal ini.
Ada kalanya kepentingan politik seperti yang dilakukan sekte-sekte tertentu
setelah adanya konflik fisik (fitnah) antara pro-Ali dan pro-Muawiyyah, karena
fanatisme golongan, madzhab, ekonomi, perdagangan dan lain sebagainya pada masa
berikutnya atau unsur kejujuran dan daya ingat para perawi hadits yang berbeda.
Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset hadits-hadits yang beredar
dan meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat bagi seorang yang meriwayatkan
hadits yang nantinya ilmu itu disebut Ilmu Hadits.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Pengertian Ulumul Hadits
2.
Sejarah Penghimpunan Ilmu Hadits
3.
Macam-Macam Ilmu Hadits
4.
Cabang-Cabang Ilmu Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ulumul Hadits
Ulumul Hadits adalah
istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits).
‘Ulum al-Hadits terdiri atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan al-Hadits. Kata ‘Ulum
dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berati “ilmu-ilmu”;
sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti “segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.
Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan
dengan hadits Nabi SAW.
Menurut Ulama Mutaqaddimin Ilmu Hadits
adalah:
Artinya: “Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang
cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW dari segala hal ihwal
para perawinya, kedhabitan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan
sebagainya.”
Pembukaan hadits di
sekitar abad ke dua hijriyah yang dilakukan para pemuka hadits dalam rangka
menghimpun dan membukukannya semata-mata di dorong oleh kemauan yang kuat agar
hadits nabi itu tidak hilang begitu saja bersama wafatnya para penghafalnya.
Mereka menghimpun dan membukukan semua hadits yang mereka dapatkan beserta
riwayat dan sanadnya masing-masing tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu
terhadap pembawanya (para rawi) begitu pula terhadap keadaan riwayat dan
marwinya. Barulah di sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin
merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam
beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam
Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmudzi dan lain-lain.
Adapun perintis pertama
yang menyusun ilmu ini secara fak(spealis) dalam satu kitab khusus ialah
Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy(360 H) yang di beri nama dengan
Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu
Abdilah an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu
Ulumil Hadits. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H)
yang menyusun kitab kaidah periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan
Al-Jam’u Liadabis Syaikhi Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan
hadits.
B. Sejarah
Perhimpunan Ilmu Hadits
Pada mulanya, Ilmu
Hadits memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang
berbicara tentang Hadits Nabi SAW dan para perawinya, seperti Ilmu Hadits
al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan
Ilmu-Ilmu Hadits secara parsial dilakukan, khususnya oleh para ulama abad ke-3
H. Umpamanya, Yahya ibnu Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad
ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Kuna, Muslim (261 H/875 M)
menulis kitab al- Asma’ wa al-Kuna, Kitab al- Thabaqat dan kitab al- ‘Ilal dan
lain-lain.
Ilmu-ilmu yang terpisah
dan bersifat parsial tersebut disebut
dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing membicarakan tentang hadits dan
perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai
digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu
disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap ilmu yang
sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama
Ulumul Hadits, sebagaimanahalnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jama’
Ulumul Hadits, setelah keadaannya menjadi satu, adalah mengandung makna mufrad
atau tunggal, yaitu Ulumul Hadits, karena telah terjadi perubahan makna lafaz
tersebut dari maknanya yang pertama –beberapa ilmu yang terpisah- menjadi nama
dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah
Hadits. Para ulama yang menggunakan nama Ulum al-hadits, diataranya adalah Imam
al-Hakim al-Naisaburi (405 H/1014 M), Ibnu al-Shalah (643 H/1246 M), dan ulama
kontemporer seperti Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Thawani (1394 H/1974
M) dan Subhi al-Shalih. Sementara itu, beberapa ulama yang datang setelah Ibn
al-Shalah, seperti al-‘Iraqi (806 H/1403 M) dan al-Suyuthi (911 H/1505 M),
menggunakan lafaz mufrad, yaitu Ilmu al-Hadits, di dalam berbagai karya mereka.
C. Macam-Macam
Ilmu Hadits
Ilmu hadits yakni ilmu
yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu
Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah).
Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
1.
Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu
Hadits Riwayah ialah.
Artinya: “Ilmu yang menukilkan segala apa yang
disandarkan kepada Nabi SAW baik
perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat tubuh anggota ataupun sifat
Perangai.”
Ibnu Akfani berkata:
Artinya: “Ilmu hadits yang khusus dengan riwayat
ialah: Ilmu yang melengkapi penukilan perkataan-perkataan Nabi SAW
perbuatan-perbuatannya, periwayat-periwayat hadits, pengdlabitannnya dan penguraian lafadz-lafadznya.”
Kebanyakan ulama
menta’rifatkan ilmu hadits riwayah sebagaimana:
Artinya: “Ilmu hadits riwayah adalah suatu ilmu untuk
mengetahui sabda-sabda nabi, taqrir-taqrir nabi dan sifat-sifat nabi.”
Maudhu’nya
(obyeknya) adalah pribadi Nabi SAW yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat
Beliau, karena hal-hal inilah yang dibahas didalamnya. Adapun faedah
mempelajari ilmu hadits riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang
salah dari sumbernya yang pertama yaitu Nabi Muhammad SAW.
2.
Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu
Hadits Dirayah biasa juga disebut sebagai Ilmu Musthalah al-Hadits, Ilmu Ushul
al-Hadits, Ulum al-Hadits, dan Qawa’id al-Hadits at-Tirmidzi mendefinisikan
ilmu ini dengan
Artinya:
“Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk
mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan sifat-sifat
perawi dan lain-lain.”
Ibnu
al-Akfani mendefinisikan ilmu ini
sebagai berikut
Artinya:
“Ilmu pengetahuan untuk mengetahui
hakikat periwayatan, syarat-ayarat, macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk
mengetahui keadaan para perawi baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang
diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya.”
Kebanyakan
ulama menta’rifkan Ilmu Hadits Dirayah sebagai berikut:
Artinya:
“Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu untuk
mengetahui keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau ditolak dan yang
bersangkutpaut dengan itu.”
Maudhu’nya
(objeknya) adalah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW,
agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. Dengan
mempelajari Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh antara
lain:
1. Mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak
masa Rasul SAW sampai sekarang.
2. Dapat
mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan
hadits.
3. Mengetahui
kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits
lebih lanjut.
4. Dapat
mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai
pedoman dalam beristimbat.
5. Dari
beberapa faedah diatas apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari
Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia
maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun
matannya.
6. Dengan
melihat uraian Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah diatas, tergambar
adanya kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
karena setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan
diperlukan baik dalam penerimaannya maupun penyamapaiannya kepada pihak lain.
Sejalan dengan perjalanan Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu Hadits Dirayah juga terus
berkembang menuju kesempurnaanya, sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan langsung
dengan perjalanan Hadits Riwayah. Oleh karena itu, tidak mungkin Ilmu Hadits
Riwayah berdiri tanpa Ilmu Hadits Dirayah, begitu juga sebaliknya.
D. Cabang-Cabang
Ilmu Hadits
Pada perkembangan
selanjutnya, para ulama menyusun dan merumuskan cabang-cabang ilmu hadis.
Karena hal ini dirasa perlu untuk mengetahui sejauh mana suatu hadis dapat
dikatakan maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Sehingga muncullah berbagai
macam cabang ilmu hadis. Sebelum itu yang lebih dahulu muncul adalah ilmu
Hadist riwayah dan ilmu hadist dirayah, dan setelah itu barulah cabang cabang
ilmu hadist seperti : Ilmu Rijal
Al-Hadist, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil, Ilmu Tarikh Al-Ruwah, Ilmu ‘Ilal
Al-Hadist, Ilmu Al-Nasikh Wal Al-Mansukh, Ilmu Asbab Wurud , Gharib Al-Hadits,
Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif dan Ilmu Mukhtalif Al-Hadist. Secara singkat cabang
cabang ilmu hadist diatas akan diuraikan sebagai berikut :
1.
Ilmu dan Kaidah Hadis Tentang Rawi dan
Sanad
a. Ilmu
Rijal Al-Hadist
Munzier suparta
(2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu untuk mengetahui para
perawi haidst dalam kapasitasnya sebagai
perawi hadist.
Muhammad Ahmad dan M.
Mudzakir (1998:57) Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para
perawi hadist, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.
Sedangkan muhadditsin,
sebagaimana dikutip dalam buku Endang Soetari (1994:233) mentarifkan Ilmu Rijal
Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah dan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah
ilmu yang membahas tentang kelompok orang orang yang berserikat dalam satu alat
pengikat yang sama. Sedangkan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas
tentang biografi para perawi hadist. Adapun materi dari ilmu ini adalah :
a) Konsep tentang rawi dan thabaqah
b) Rincian thabaqah rawi
c) Biografi yang telah terbagi pada tiap
thabaqah
Dari berbagai definisi
diatas, pada dasarnya Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang
para perawi hadist dalam memelihara dan menyampaikannya kepada orang lain
dengan menyebutkan sumber-sumber pemberitaannya.
Kedudukan ilmu ini
sangat penting dalam lapangan ilmu hadist, karena, sebagaimana diketahui bahwa
objek kajian hadist, pada dasarnya ada dua hal yaitu matan dan sanad. Munzier
Suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist ini lahir bersama sama dengan
periwayatan hadist dalam islam dan mengambil posisi khusus untuk mempelajari
persolan-persoalan disekitar sanad.
Dengan ilmu ini kita
dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadist dari Rasullah SAW,
dan keadaan para perawi yang menerima hadist dari para sahabat dan seterusnya.
Dan dengan ilmu ini kita juga dapat mengetahui sejarah ringkas para perawi
hadist, mazhab yang dipegang oleh para perawi, dan keadaan para perawi dalam
menerima hadist.
Kitab kitab yang
disusun dalam ilmu ini beraneka ragam. Seperti halnya dikutip dalam buku
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:58) ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas para sahabat saja. Ada yang
menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi. Ada yang menerangkan para perawi
yang dipercaya saja. Ada yang menerangkan riwayat para perawi yang lemah-lemah,
atau para mudalis, atau para pemuat hadist maudu. Dan ada yang menerangkan
sebab sebab dianggap cacat dan sebab sebab dipandang adil dengan menyebut kata
kata yang dipahami untuk itu serta martabat perkataan. Seperti pada abad ke
tujuh hijrah Izzudin Ibnu Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah
disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang bernama Usdul Gabah. Pada
abad kesembilan hijrah, Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqolani menyusun kitabnya yang
terkenal denagn nama Al Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan al istiah dengan
usdul gabah dan ditambah dengan yang tidak trdapat dalam kitab kitab tersebut.
Kemudian kitab ini diringkas oleh As Suyuti dalam kitab Ainul Ishobah. Al
bukhori dan Imam Muslim juga telah menulis kitab yang menerangkan nama-nama
sahabat yang hanya meriwayatkan suatu hadist saja yang bernama Wuzdan.
b. Ilmu
Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh Wa
At-Ta’dil, pada hakikatnya merupakan satu bagian dari Ilmu Rijal Al-Hadist,
akan tetapi, karena bagian ini dipandang penting, maka ilmu ini dijadikan
sebagai ilmu yang yang berdiri sendiri. Adapun beberapa pengertian dari Ilmu
Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah sebagai berikut :
Munzier Suparta
(2006:31) menyatakan Ilmu Al-jarh yang secara bahasa berarti luka, cela, atau
cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti
pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadist mendefinisikan Al-Jarh dengan
kecacatan pada para perawi hadist, disebabkan oleh suatu yang dapat merusak
keadilan atau kedhabitan perawi. Sedangkan At-Ta’dil yang secara bahasa berarti
menyamakan dan menurut istilah berarti lawan dari Al-Jarh yaitu pembersihan
atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa dia adil atau dhabit. Sementara ulama
lain mendefinisikan Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam satu definisi yaitu ilmu yang
membahas tentang para perawi dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka,
baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau
lapadz-lapadz tertentu.
Dari beberapa definisi
diatas dapat diketahui bahwa ilmu ini digunakan untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang perawi itu dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila
seorang perawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak, dan sebaliknya apabila dipuji, maka hadistnya
dapat diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Munzier Suparta
(2006:32) menyatakan kecacatan rawi itu bisa diketahui melalui
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup
perbuatan : Bid’ah yakni melakukan perbuatan tercela atau diluar ketentuan
syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih
tsiqah; Qhalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadist;
Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap;
dan Da’wat Al-Inqitha, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.
Adapun orang-orang yang
melakukan Tajrih dan Ta’dil harus memenuhi syarat sebagai berikut : Berilmu
pengetahuan, Taqwa Wara, Jujur, Menjauhi sifat fanatik golongan, dan Mengetahui
ruang lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Kitab-kitab yang
disusun dalam ilmu ini berbeda beda, sebagian ada yang kecil, hanya terdiri
dari satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang
lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh
sampai dua puluh ribu Rijalus Sanad. Disamping itu sistematis pembahasannya juga berbeda beda. Ada sebagian
yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja dan ada juga yang mengumpulkan
keduanya. Fathur Rahman (1987:279) menyebutkan kitab-kitab itu, antara lain :
1. Ma’rifatur-rijal,
karya Yahya Ibnu Ma’in.
2. Ad-Dluafa,
karya Imam Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 – 252 H)
3. At-tsiqat,
karya Abu Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)
4. Al-jarhu
wat tadil, karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy (240 – 326 H)
5. Mizanul
itidal, karya Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby (673 – 748 H)
6. Lisanul
mizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 – 852 H)
c. Ilmu
Tarikh Ar-Ruwah
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah merupakan
masih bagian dari Ilmu Rijal Al-hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya
secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam
periwayatan.
Munzier Suparta
(2006:34) menyatakan Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para
perawi hadist yang berkaitan dengan usaha periwayatn mereka terhadap hadist.
Mengenai hubungan antara ilmu ini dengan ilmu Thabaqah Ar-Ruwah, sebagaimana
dikutip masih dari buku yang sama, bahwa
terdapat berbagai perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ada ulama yang
membedakan secara khusus, tetapi ada juga yang mempersamakannya. Menurut
As-Suyuti, antara Ilmu Thabaqat Ar-ruwah dengan Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah
sama saja dengan antara umum dan khusus, keduanya bersatu dalam pengertian yang
berkaitan dengan para perawi, tetapi Ilmu Tarikh Ar-Ruwah menyendiri dalam
hubungannya dengan kejadian-kejadian yang baru. Menurut Al-Shakawi, bahwa ulama
mutakhirin membedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka bahwa
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah, melalui eksistensinya memperhatikan hal ihwal perawi, dan
melalui sifatnya memperhatikan kelahiran dan wafatnya mereka.
Jadi dengan ilmu ini
dapat diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahirannya,
wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadist dari gurunya, siapa
yang meriwayatkan hadist darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka
mengadakan lawatan, dan lain sebagainya. Dan ilmu ini juga merupakan senjata
yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk
membongkar kebohongan para perawi.
2.
Ilmu Kaidah Tentang Matan
a. Gharib
Al-Hadits
Menurut Endang Soetari (2005:210), Ilmu
Gharib al-Hadist adalah:
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat
yang terdapat dalam matan Hadist yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang
terpakai oleh umum’.
Yang dibahas oleh ilmu ini adalah lafadh
yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami, tujuannya untuk
menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa tabi’in dan abad pertama
hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum, hanya
diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan kata-kata yang
tidak dapat dipahami oleh umumtersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam
pergaulan sehari-hari. Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para
ulama Muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan Hadits, antara lain:
1. Mencari
dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib
2. Memperhatikan
penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits atau shahabat lain yang tidak meriwayatkan,
3. Memperhatikan
penjelasan dari rawi selain shahabat.
Di sisi lain, dalam
buku Ilmu Hadis karya Mudasir (2005:57), menurut Ibnu Shalah, yang dimaksud
dengan Gharib al-hadis ialah: “Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang
terdapat pada lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena
(lafal-lafal tersebu) jarang digunakan.” Mudasir menyatakan bahwa bahwa ilmu
ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasulullah SAW. Wafat ketika banyaknya
bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk Islam serta banyaknya orang yang kurang
memahami istilah atau lafal-lafal tertentu yang gharib atau sukar dipahami.
Imam Al-Nawawi
menyebutkan dalam bukunya (2001:116) bahwa Hadis gharib adalah Hadis yang
diriwayatkan dari al-Zuhri atau rawi yang selevel dengan al-Zuhri dimana
Hadis-hadisnya itu dikumpulkan oleh seorang rawi. Hadis gharib terbagi ke dalam
dua begian, shahih dan tidak shahih. Dalam kategori tidak shahih, hadis gharib
bisa berupa Hadis hasan juga bisa dla’if. Namun umumnya Hadis gharib tidak
shahih. Hdis ini juga terbagi ke dalam dua klasifikasi berdasarkan pada pada
kualitas sanad dn matan Hadis tersebut. Pertama , Hadis gharib baik dari segi
matannya maupun sanadnya. Ini seperti pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh
seorang rawi. Kedua, Hadis yang kegharibannya terdapat pada sanadnya saja,
seperti pada Hadis yang matannya diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, di mana
salah seorang di antara mereka meriwayatkannya secara tunggal Hadis itu. Dalam
kaitan ini, Ai-Titmidzi biasanya menggunakan teknis gharibun min badza al-wajh
(gharib berdasar tinjauan ini. Namun sampai ssat ini tidak ditemukan Hadis
gharib dalam segi matannya saja, tapi sanadnya tidak gharib. Kecuali jika ada
Hadis tunggal yang populer di mana Hadist itu diriwayatkan oleh banyak rawi, maka
hadis itu disebut Hadis gharib yang masyhur dan juga gharib secara matannya
saja tidak beserta sanadnya, jika dilihat dari salah satu dari dua jalurnya,
seperti Hadis Innama al-a’malu bi al-niyyat.
Definisi lain
diungkapkan oleh Wahyudin Darmalaksana (2004:39), bahwa Hadits Gharib yaitu
hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya di mana saja penyendirian
dalam sanad itu terjadi, daik karena penyendirian sifat atau keadaan yang
berbeda dengan sifat dan keadaan rawi lainnya, ataupun juga karena penyendirian
personalia itu sendiri. Berdasarkan pada bentuk penyendirian tersebut, kemudian
hadits gharib terbagi pada dua macam: pertama, Hadits Gharib Mutlaq yakni
hadits yang didalamnya terdapat
penyendirian sanad dalam jumlah personalianya. Kedua, Hadis Gharib Nisbi yakni
Hadis yang terdapat penyendirian dalam dalam satu sifat atau keadaan tertentu.
b. Ilmu
Asbab Wurud Al-Hadits
Menurut ahli bahasa,
asbab diartikan dengan al-habl (tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti
saluran, yang artinya adalah segala sesuatu yang menghubungkan satu benda
dengan benda yang lainnya. Adapun arti asbab menurut istilah adalah Segala
sesuatu yang mengantar pada tujuan.Kata wurud (sampai, muncul) berarti : “Air
yang memancar atau yang mengalir.” Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuti
menyebutkan pengertian asbab wurud al-hadist, yaitu Sesuatu yang membatasi arti
suatu hadist, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau
muqqayyad, dinasakhkan, dan seterunya, atau suatu arti yang dimaksud oleh
sebuah hadist saat kemunculannya.”
Dari pengertian asbab
wurud al-hadist seperti di atas, dapat dibawa pada pengertian ilmu asbab wurud
al-hadist, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW.
Menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda RasulullahSAW
tentang menyucikan air laut, yaitu, “ Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya”. Hadist ini dituturkan oleh Rasulullah SAW ketika seorang sahabat
sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan berwudhu.
Menurut As-Suyuti, urgensi
asbab wurud terhadap hadist sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan
hadist, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Qur’an terhadap Al-Qur’an.
Ini terlihat dari beberapa faedahnya antara lain dapat men-taksis arti yang
umum, membatasi arti yang mutlak,menunjukkan perincian terhadap yang mujmal,
menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.Maka dengan memahami
asbab wurud al-hadist ini, makna yang dimaksud atau dikandung oleh suatu hadist
dapat dipahami dengan mudah. Namun, tidak semua hadist mempunyai asbab
al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbab
an-nuzul-nya.
Sedangkan menurut
Endang Soetari (2005:212), Ta’rif ilmu
Asbab Wurud al-Hadist “Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan
sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkan”. Ilmu ini titik berat pembahasannya pada latar
belakang dan sebab lahirnya Hadist. Manfaat mengetahui asbab al-wurud Hadist
antara lain untuk membantu memahami dan menafsirkan Hadits serta mengetahui
hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadist tersebut, atau mengetahui
kekhususan konteks makna hadist. Perintis ilmu asbab Wurud al-Hadits adalah Abu
Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’
al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif,
susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
c. Ilmu
An-Nasikh Wa Al-mansukh
Menurut Drs. H. Mudasir
dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:53), Yang dimaksud dengan ilmu an-naskh wa
almansukh disini terbatas sekitar nasikh dan mansukh pada hadist. Beliau
menyebutkan bahwa kata An-Nasakh menurut bahasa mempunyai dua pengertian,
al-izzlah (menghilangkan), seperti (matahari menghilangkan bayangan) dan
an-naql (menyalin), seperti (saya menyalin kitab) yang berarti saya menyalin
isi suatu kitab untuk dipindahkan pada kitab lain. Pengertian An-Nasakh menurut
bahasa, dapat kita jumpai Dalam
Al-Qur’an, antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 106: “Ayat
mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. (QS.
Al-Baqarah : 106)
Adapun An-Nasakh
menurut Istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul adalah:“Syari’ mengangkat
(membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang
kemudian.”
Sedangkan menurut
Endang Soetari dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:213) menyebutkan bahwa Ta’rif
ilmu Nasikh wa al-Mansukh: adalah:“Ilmu yang menerangkan Hadist-hadiat yang
sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya.”
Beliau menyatakan bahwa
ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua Hadis Maqbul yang
tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan,
hanya sampai pada tingkat mukhtalif al-hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat
diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan, maka Hadist yang tanakud
tadi ditarjih atau dinasakh. Bila diketahui mana diantara kedua Hadist yang
diwurudkan duluan dan yang diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian
(terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang
belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan
dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari
Rasulullah SAW sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang
dimaksud.
4.
Ilmu Kaidah Tentang Sanad dan Matan
a. Ilmu
‘Ilal Al-Hadist
Munzier Suparta
(2006:35) menyatakan kata ‘Ilal adalah bentuk jama dari kata Al-‘Illah, yang
menurut bahasa berarti penyakit atau sakit. Menurut Muhadditsin, istilah ‘Illah
berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya
hadist. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Ilal Al-Hadist menurut Muhadditsin
adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan
keshahihan hadist, seperti mengatakan muttashil terhadap hadist yang munqathi,
menyebutkan marfu terhadap hadist yang mauquf, memasukan hadist kedalam hadist
lain, dan hal-hal yang seperti itu.
Beberapa buku lainnya
juga, seperti Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir (1998:61) dan Endang Soetari
menyatakan hal yang sama mengenai definisi Ilmu ‘Ilal Al-Hadist. Jadi secara
singkat, Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang suatu illat yang
dapat mencacatkan kesahihan hadist.
Endang Soetari, menyatakan illat yang terjadi pada sanad dan
terjadi pula pada matan, yaitu :
a) Lahir
sanad shahih padahal terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri dari guru.
b) Hadist
Mursal dimusnadkan lahirnya.
c) Hadist
mahfuzh dari shahabat tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda
tempat tinggalnya.
d) Hadist
Mahfuzh dari sahabat tertentu diriwayatkan dengan paham tabi’in.
e) Meriwayatkan
dengan an-‘anah suatu hadist yang sanadnya gugur seorang rawi atau beberapa
orang.
f) Berlainan
sanadnya dengan sanad yang lebih kuat.
g) Berlainan
nama gurunya yang memberikan hadist dengan nama guru rawi-rawi tsiqah, atau
nama guru tidak disebutkan dengan jelas.
h) Meriwayatkan
hadist yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun gurunya itu benar-benar
guru yang pernah memberikan beberapa hadist padanya.
i)
Meriwayatkan hadist dengan sanad lain,
secara waham terhadap hadist yang sebenarnya, hanya mempunyai satu sanad.
j)
Memauqufkan hadist yang maufu.
Adapun beberapa ulama
yang menulis mengenai ilmu ini adalah Ibn Al-Madini (234 H), Ibn Abi Hatim (327
H) yakni kitab Ilal Al-Hadist. Imam Muslim (261 H), Al-Daruquthni (375 H), dan
Muhammad Ibn Abd Allah Al-Hakim.
b. Ilmu
At-Tashif Wa At-Tahrif
Menurut Mudasir
(2005:57), Ilmu At-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan
hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya (musahhaf) dan bentuknya
(muharraf). Al-Hafizh Ibnu Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu
ilmu at-tashif dan ilmu at-tahrif. Sebaliknya Ibnu Shalah dan pengikutnya
menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu.Menurutnya, ilmu ini merupakan
satu disiplin iilmu bernilai tinggi yang dapat membangkitkan semangat para ahli
hafalan (huffaz). Hal ini karena hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan
bacaan dan pendengarannya yang diterima dari orang lain.
Sedangkan menurut
Endang Soetari (2005:216) Ilmu Tashhif wa al-Tahrif adalah: “Ilmu yang
menerangkan Hadis-hadis yang sudah diubah titiknya (musahhaf) dan bentuknya
(muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif,
susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu Ahmad al-Askari (283 H).
Sedangkan menurut Imam
Al-Nawawi (2001:120), kesalahan tulis (tashhif) bisa saja terjadi pada kata
atau lafadh dalam sebuah Hadis atau penglihatan rawi, baik dalam segi sanad
maupun matannya. Diantara kesalahan tulis pada sanad adalah penulisan al-Awwam
bin Murajim (dengan ra’ dan jim pada kata Murajim) ditulis secara salah oleh
Ibn al-Ma’in dengan za’ dan ha’ (Muzahim). Dan diantara kesalahan tulis pada
matan adalah Hadis Zaid bin Tsabit berikut ini: Anna Rasulallah ihtajara fi
al-masjid (Bahwa Rasulullah membuat kamar di salah satu ruangan masjid dari
tikar atau yang sejenisnya di mana tempat itu dipergunakan untuk shalat). Ibnu
Lahi’ah menulis secara salah kata ihtajara dengan menggantikannya menjadi
ihtajama (berbekam). Menurutnya, kadang
kesalahan tulis terjadi karena salah dengar,
seperti Hadis dari Ashim al-Ahwal. Kadang pula kesalahan terjadi pada
makna Hadis, seperti ungkapan Muhammad bin al-Mutsanna berikut ini, Nahnu
qaumun lana syarafun, nahnu min ‘anazah shalla ilaina Rasulullah (Kami adalah
sekelompok orang yang memiliki kehormatan. Kami lahir dari kabilah Anazah di
mana Rasulullah pernah shalat di kabilah kami). Kata ‘anazah di sini dipahami
secara salah oleh Muhammad bin al-Mutsanna. Padahal yang dimaksudkan dari Hadis
bahwa Rasulullah shalat di depannya diberi tanda dengan tongkat. Bahkan ada
orabg arab pedesaan yang salah memahami ‘anazah. Ia mengira bahwa kata itu
adalah ‘anzah (dengan nun), yang berartri kambibg. Ia pun akhirnya, karena
salah memahami makna Hadis yang dimaksud, shalat dengan disertai kambing kecil.
c. Ilmu
Mukhtalif Al-Hadis
Mudasir (2005:58)
mendefinisikan ilmu mukhtalif al-hadis sebagai ilmu yang membahas tentang
hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar
pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara
keduanyasebagaimanamembahas hadis-hadis yang sulit dipahami isiatau
kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya serta
menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian ini
dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadis, maka hadis-hadis
yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu
sendiri. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadis dapat
dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut. Sebagian ulama menyamakan istilah
ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil al-hadis, ilmu takwil al-hadis,
ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf al-hadis. Akan tetapi, yang dimaksudkan
oleh istilah-istilah di atas memiliki arti yang sama.
Imam Al-Nawawi
(2001:121) menyebutkan bahwa maksud dari Mukhtalaf al-Hadis adalah adanya dua
Hadis yang bertentangan maknanya secara eksplisit. Tugas seorang ahli Hadis dalam
masalah ini adalah menggabungkan dua Hadis yang bertentangan itu, atau
mentarjih salah satunya. Hanya para imam yang mempunyai penguasaan mendalam
pada bidang Hadis dan fikih, di samping para ahli ushul fikih yang memiliki
kapasitas yang memadai dalam bidang semantik.
Hadis mukhtalaf terbagi ke dalam
dua bagian. Pertama, pertentangan yang memungkinkan untuk menggabungkan maksud
dari dua hadis itu. Setelah menjadi jelas, bagian yang telah digabungkan itu
wajib untuk diamalkan. Kedua, pertentangan yang memungkinkan untuk digabungkan
dengan satu alasan. Karenanya, jika kita mengetahui salah satu dari kedua hadis
itu menjadi penasikh, maka kita dahulukan Hadis penasih itu. Jika tidak, kita
mengamalkan Hadis yang diunggulkan (rajih), seperti mentarjih karakteristik dan
jumlah para rawi yang mencapai sekitar lima puluh jalur.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu Hadits adalah ilmu
yang membahas atau berkaitan dengan Nabi SAW. Perintis pertama Ilmu Hadits
adalah Al Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy. Pada mulanya, Ilmu Hadits merupakan
beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, ilmu-ilmu yang terpisah dan
bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing
membicarakan tentang hadits dan para perawinya. Akan tetapi pada masa
berikutnya ilmu-ilmu itu digabungkan dan dijadikan satu serta tetap menggunakan
nama Ulumul Hadits.
Macam-macam Ilmu Hadits ada dua
yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Adapun cabang-cabang dari
Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah adalah:
1. Ilmu Rijal al-Hadits 6. Gharib al-Hadits
2. Ilmu Jarh wa at-Ta’dil 7.
Nasikh wa al Mansukh
3. Fann al-Mubhanat 8. Asbab Wurud al-Hadits
4. Tashhif wa at-Tahrif 9. Talfiq al-Hadits
5. ‘Ilal al-Hadits 10.
Musthalah Ahli Hadits
B. SARAN
Makalah yang dapat kami buat,
sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif
sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Muhammad, dan Mudzakir, Muhammad, Ulumul
Hadits, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2010
Ash-Shiddieqy,
Muhammad Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah
Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2003
Yuslem,
Nawir, Ulumul Hadits, Jakarta: PT
Mutiara Sumber Widya, 200
Mudasir.
Ilmu Hadis. Pustaka Setia. Bandung: 2005
Muhammad
Ahmad & M. Mudzakir. Ilmu Hadis. Pustaka Setia. Bandung: 2000.
Munzier
Suprapta. Ilmu Hadis. Grafindo Persada. Jakarta: 2006