BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Umat
Islam mengalami kemajuan pada zaman kalsik (650-1250). Dalam sejarah,
puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini
telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang
tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun
bidang pengetahuan lainnya[1].
Berdasarkan bukti histories ini menggambarka bahwa periwayatan dan
perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiirng dengan perkembangan
pengetahuan lainnya.
Menatap
prespektif keilmuan hadis, sungguh pun ajaran hadis telah ikut
mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya
Al-Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan.
Dengan demikian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan
umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari
perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an diturunkan. Bertolak dari
kenyataan ini, Prof. A. Mukti Ali menyebutkan sebagai metode pemahaman
terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya
sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu,
temapat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan, ajaran
dan kejadian itu muncul. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam,
sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada pengikutsertaan
pengetahuan asbab al nuul (sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.
Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al –Wurud terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang mendahului nuzul (turun) Al-Qur’an dan wurud (disampaikannya)
hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada
hadits Nabi SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu
hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi, sehingga
As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta
diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasulullah.
B. TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
- mengetahui definisi ilmu hadits
- mengetahui cabang-cabang ilmu hadits serta penjelasannya
- mengetahui kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits
- mengetahui otentitas hadits
C. RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah:
- Apa definisi ilmu hadits?
- Apa saja cabang-cabang ilmu hadits itu?
- Apa saja kegunaan mempelajari ilmu hadits
- bagaimana otentitas hadits Nabi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ILMU HADITS
Ilmu
hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui
kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Menurut Tengku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni illmu yang berpautan
dengan hadits, banyak ragam macamnya.
Sebagai
diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai dengan
fungsinya dalam menetapkan syariat Islam. Ada hadits shahih, hadits
hasan, dan hadits dhoif. Masing-masing memiliki persyaratannya
sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan
sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadits, dan ada pula yang
berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang ada
dalam ilmu hadits ada 2. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan
dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita
menelusuri apakah sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan
apakah para periwayat hadits yang dicantumkan di dalam sanad hadits itu
orang-orang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan denga
matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah
informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak.
Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau
tidak.
B. CABANG-CABANG ILMU HADITS
Menurut
Dr. Mustofa As-Siba’i bahwa terdapat disiplin ilmu yang lain dalam
kajian tentang sunnah beserta penuturannya,pembelaannya, dan penelitian
pangkall dan sumbernya. Abu ‘Abdullah Al-Hakim dalam kitabnya Ma’rifatul ‘Ulum Al-Hadits, merinci disiplin ini menjadi lima puluh dua bagian, dan al-Nawawi dalam kitabnya al-Taqrib, merincinya menjadi enam puluh lima bagian.[2]
Menurut Anwar dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits, dijelaskan bahwa ilmu hadits dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Ilmu Dirayatul Hadits, atau Ilmu Ushulur Riwayah dan disebut juga dengan Ilmu Musthalah Hadits
Menurut
kata sebagian ulama Tahqiq, Ilmu Dirayatul Hadits adalah ilmu yang
membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada Shahibur Risalah,
junjungan kita Muhammad SAW dari sikap perawinya, mengenai kekuatan
hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan
bersambungnya, dan yang sepertinya.
Muhammad
Abu Zahwu dalam kitabnya Al-Haditsu wal Muhadditsun, memberikan
definisi Ilmu Ushulur Riwayah atau Ilmu Riwayatul Hadits adalah ilmu
yang membahas tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya,
macam-macamnya, hukum-hukumnya, dan keadaan perawi-perawinya dan
syarat-syaratnya, macam-macam yang diriwayatkan dan hal-hal yang
berhubungan dengan itu.[3]
Adapun
obyek Ilmu Hadits Dirayah ialah meneliti kelakuan para rawi dan keadaan
marwinya (sanad dan matannya). Dari aspek sanadnya, diteliti tentang
ke'adilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan menyampaikan
haditsnya serta sanadnya bersambung atau tidak. Sedang dari aspek
matannya diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya, sehubungan dengan
adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
Dalam penjelasannya, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan:
a. hakikat periwayatan adalah menyampaikan berita dan menyandarkannya kepada orang yang menjadi sumber berita itu.
b. Syarat-syarat
periwayatan adalah syarat-syarat perawi di dalam menerima hal-hal yang
diriwayatkan oleh gurunya, apakah dengan jalan mendengar langsung atau
dengan jalan ijazah, atau lainnya.
c. Macam-macam periwayatan, apakah sanadnya itu bersambung-sambung atau putus dan sebagainya.
d. Hukum-hukumnya, artinya diterima atau ditolaknya apa yang diriwayatkannya itu.
e. Keadaan
perawi dan syarat-syaratnya, yaitu adil tidaknya dan syarat-syarat
menjadi perawi baik tatkala menerima hadits maupun menyampaikan hadits.
f. Macam-macam yang diriwayatkan, ialah apakah yang diriwayatkannya itu berupa hadits Nabi, atsar atau yang lain.
g. Hal-hal yang berhubungan dengan itu, ialah istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits.
Pemindahan hadits berdasarkan sanadnya kepada orang yang dinisbahkan dilakukan secara riwayat atau khabar dan selainnya.
Syarat-syaratnya
memindahkan hadits berdasarkan sanadadalah sebagi berikut: Perawi
menerima apa yang diriwayatkan kepadanya melalui salah satu dari cara
meriwayatkan Hadis samada melalui pendengaran, pembentangan, ijazah atau
sebagainya.
Bagian-bagiannya: Ittisal (bersambung) serta Ingqita' (terputus) dan sebagainya.[4]
b. Ilmu Riwayatul Hadits
Ilmu
Riwayatul Hadits ialah ilmu yang memuat segala penukilan yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, kehendak,
taqrir ataupun berupa sifatnya.
Menurut
Syaikh Manna’ A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits:
sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat
beliau dari segi periwayatannya secara detail dan mendalam. Faidahnya :
menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannya[5].
Sementara
itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara
menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan
dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits,
hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun
sanadnya.
Adapun
kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya
kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab
berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan
juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan
sumbernya tidak jelas sama sekali.[6]
.
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah[7] ialah:
a. Ilmu Rijalul Hadits
Ialah ilmu yang membahas para perawi hadits, dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.
Dengan
ilmu ini kita dapat mengetahui, keadaan para perawi yang menerima
hadits dari Rasulullah dan keadaan perawi yang menerima hadits dari
sahabat dan seterusnya.
Dalam
ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi,
madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi
itu menerima hadits.
b. Ilmu Jarhi wat Ta’dil
Ilmu
yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan
memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu.
Ilmu
Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu
ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari
Nabi dan mana yang bukan.
c. Ilmu Fannil Mubhammat
Ilmu fannil Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad.
Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.
Perawi-perawi
yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan
selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
d. Ilmu ‘Ilalil Hadits
Adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits.
Yakni: menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan hadits.
Ilmu
ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui
penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama, yang mempunyai
pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai
malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan bahwa cara mengetahui ‘illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ‘illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ‘illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih[8].
e. Ilmu Ghoriebil Hadits
Yang
dimaksudkan dalam ilmu haddits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu
hadits yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah
dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam
memahami hadits tersebut.
f. Ilmu Nasikh wal Mansukh
Adalah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan menasikhkannya.
Apabila didapati sesuatu hadits yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Dan jika dilawan oleh hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar maka hadits itu dinamai muhtaliful hadits. Jika tidak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.
g. Ilmu Talfiqil hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits yang berlawanan lahirnya.
Dikumpulkan itu ada kalanya dengan mentahsikhkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyak kali terjadi.
h. Ilmu Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
i. Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
Yaitu ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan waktu beliau menuturkan itu.
Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits
dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada
hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan
dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.[9]
Disamping
itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara
komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana
yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”.
Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk
menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
j. Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits
Yaitu
ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya
bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil
meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain.
Oleh sebagaian ulama dinamakan dengan “Mukhtalaf Al-Hadits” atau “Musykil Al-Hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih[10].