.
A. PENGERTIAN
Sebelum masuk ke pembahasan utama,
perlu diketahui apa itu ilmu hadits dirayah. Ilmu hadits dirayah adalah ilmu
yang diketahuinya hakikat riwayat, syarat-syaratnya, hukum-hukumnya, keadaan
perawi dan syarat-syarat mereka, maacam-macam apa yang diriwayatkan dan, apa
yang berkaitan dengannya. Atau secara ringkas : “Kaidah-kaidah yang
diketahui dengannya keadaan perawidan yang diriwayatkan”. Dan perawi
adalah orang yang meriwayatkan hadits dari orang yang ia mengambil darinya.
Adapun marwiy adalah hadits yang disampaikan dengan cara periwayatan,
dan yang diriwayatkan ini secara istilah dinamakan dengan matan. Adapun
orang-orang yang meriwayatkannya dinamakan dengan perawi atau Rijal Al-Isnad.
Maka apabila Imam Bukhari berkata
misalnya,”Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Quraisyi,
dia telah berkata : Telah menceritakan kepadakami bapakku, dia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Abu Burdah bin Andillah bin Abi Burdah, dari Abi
Burdah, dari Abu Musa radliyallaahu ‘anhu, dia berkata,”(Para shahabat)
bertanya : ‘Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama?’. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من سلم المسلمون
من لسانه ويده
”Barangsiapa yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan
tangannya”.
Orang-orang
yang telah disebutkan Imam Bukhari ini – mulai dari Sa’id bin Yahya bin Sa’id
Al-Quraisyi sampai yang paling terakhir yaitu Abu Musa – mereka ini disebut
periwayat hadits. Dan rangkaian mereka disebut sanad, atau rijalul-hadits.
Sedangkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam :”Barangsiapa yang kaum
muslimin selamat dari lisannya dan tangannya” adalah yang diriwayatkan atau
hadits; dinamakan matan. Dan orang yang meriwayatkan hadits dengan smua
rijalnya yang disebutkan tadi disebut musnid. Sedangkan perbuatannya ini
dinamakan isnad (penyandaran periwayatan).
Dari
penjelasan di atas dapat kita kenal istilah-istilah yang sering dipakai sebagai
berikut :
ü As-Sanad,
dalam bahasa artinya menjadikannya sandaran atau penopang yang dia menyandarkan
kepadanya.
ü Sanad
dalam istilah para ahli hadits yaitu : “jalan yang menghubungkan kepada matan”,
atau “susunan para perawi yang menghubungkan ke matan”. Dinamakan sanad karena
para huffadh bergantung kepadanya dalam penshahihan hadits dan pendla’ifannya.
ü Al-Isnad
adalah mengangkat hadits kepada yang mengatakannya. Ibnu Hajar mendefiniskannya
dengan : “menyebutkan jalan matan”. Disebut juga : Rangkaian para rijaalul-hadiits
yang menghubungkan ke matan. Dengan demikian maknanya menjadi sama dengan
sanad.
ü Musnid
adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya.
ü Matan
menurut bahasa adalah “apa yang keras dan meninggi dari permukaan bumi”.
ü Matan
menurut para ahli hadits adalah perkataan yang terakhir pada penghujung sanad.
Dinamakan matan karena seorang musnid menguatkannya dengan sanad dan
mengangkatnya kepada yang mengatakannya, atau karena seorang musnid
menguatkan sebuah hadits dengan sanadnya.( Tadriibur-Raawi halaman 5-6
dan Nudhatun-Nadhar halaman 19)
Isnad
memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, karena asalnya adalah ummat menerima
agama ini dari sahabat dan mereka menerimanya dari Rasulullah Sawdan beliau
menerimanya dari Rabbul-izzah baik dengan perantara ataupun tidak. Dan
diriwayatkan dengan jalan shohih dari Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhuma
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda :
تَسْمَعُونَ
وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ
Artinya : “Kalian mendengar lalu didengar dari kamu dan didengar dari yang mendengar dari kamu” (HR. Abu Daud dan Ahmad, keduanya dengan sanad yang shohih)
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mubarak bahwasanya beliau berkata:
«
الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا
الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ »
“Isnad itu bagian dari din, kalaulah bukan isnad maka orang akan mengatakan sekehendaknya”
Dan beliau (Muslim) meriwayatkan juga dengan isnadnya dari Ibnu Sirin ucapannya :
«
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ
فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ »
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu”
Imam Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari Imam Abdullah ibnul Mubarak bahwa ia berkata:
«
بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ
الْقَوَائِمُ يَعْنِي الْإِسْنَادَ »
“Antara kita dengan kaum-kaum itu (yang berdusta atas nama hadits) adalah isnad”
Ibnu Hibban meriwayatkan dari Imam Sofyan Ats Tsauri ucapannya :
«الإِسْنَادُ سِلَاحُ المُؤْمِنِ
فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ السلَاح فَبِأَي شَيءٍ يُقَاتِلُ»
“Isnad itu adalah senjata seorang mukmin, maka kalau ia tidak punya senjata dengan apa ia berperang?”
Ilmu Rijaalul Hadits adalah :
علم
يعرف به رواة الحديث من حيث انهم رواة للحديث
“Ilmu Untuk mengetahui para perawi
hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis”
Ilmu Rijaalul-Hadiits, dinamakan juga
dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat (Ilmu Sejarah Perawi) adalah ilmu yang
diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya,
wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air
mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan
keadaan mereka.
Pertama kali orang yang sibuk
memperkenalkan ilmu ini secara ringkas adalah Al-Bukhari (w.230 H) kemudian
Muhammad bin sa’ad (w.230 H) dalam Thabaqatnya. Kemudian berikutnya Izzuddin
Bin al-Atsir(w.630 H) menulis Usud Al-Ghabah Fi Asma Ash-Shahabah, Ibnu hajar
Al-asqalani (w.852 H) yang menulis Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash-shahabah kemudian
diringkas oleh as-suyuthi(w.911 H ) dalam bukunya yang berjudul ‘ayn
Al-Ishabah. Al-Wafayat karya Zabir Muhammad bin Abdullah Ar-rubi (w.379 H)
B.
MUNCULNYA ILMU RIJAALUL HADITS
a. Mulainya penggunaan isnad
Penggunaan
isnad ini sebenarnya telah ada di masa sahabat Rasulullah Sawyaitu bermula dari sikap taharri
(kehati-hatian) mereka terhadap berita yang datang kepada mereka, sebagaimana
diriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq dalam
kisah nenek yang datang meminta bagian warisan, kemudian kisah Umar bin Al
Khaththab dalam peristiwa isti’dzan
(minta izinnya) Abu Musa, juga kisah tatsabbut (klarifikasi) Ali bin Abi Thalib
dimana beliau meminta bersumpah bagi
orang yang menyampaikan padanya hadits Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam.
Hanya
saja makin banyaknya pertanyaan terhadap isnad dan makin intensnya orang
meneliti dan memeriksa isnad, itu mulai terjadi setelah terjadinya fitnah
Abdullah bin Saba dan pengikut-pengikutnya yaitu di akhir-akhir kekhalifaan
Utsman bin Affan dan penggunaan sanad
terus berlangsung dan bertambah seiring dengan menyebarnya para
Ashabul-ahwaa(pengikut hawa nafsu) di tengah-tengah kaum muslimin, juga
banyaknya fitnah yang mengusung kebohongan sehingga orang-orang tidak mau
menerima hadits tanpa isnad agar supaya mereka mengetahui perawi-perawi hadits
tersebut dan mengenali keadaan mereka.
Imam
Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari Muhammad bin Sirin bahwasanya beliau
berkata :
«
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنْ
الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ
فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى
أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ «
“Dahulu orang-orang tidak pernah menanyakan isnad, akan tetapi setelah terjadi fitnah maka dilihat hadits Ahli Sunnah lalu diterima dan dilihat haditsnya ahlil-bida’ lalu tidak diterima (ditolak)”
Ali
ibnul Madini mengatakan bahwa Muhammad bin Sirin adalah orang yang selalu
melihat hadits dan memeriksa isnadnya, kami tidak mengetahui seorang pun yang
lebih dahulu darinya.
b.
Munculnya ilmu Rijal
Kemunculan
ilmu Rijal merupakan buah dari berkembang dan menyebarnya penggunaan isnad
serta banyaknya pertanyaan tentangnya. Dan setiap maju zaman, maka makin banyak
dan panjang jumlah perawi dalam sanad. Maka perlu untuk menjelaskan keadaan
perawi tersebut dan memisah-misahkannya, apalagi dengan munculnya bid’ah-bid’ah
dan hawa nafsu serta banyaknya pelaku dan pengusungnya. Karena itu tumbuhlah
ilmu Rijaal yang merupakan suatu keistimewaan ummat ini di hadapan ummat-ummat
lainnya.
Akan
tetapi kitab-kitab tentang ilmu Rijal nanti muncul setelah pertengahan abad-2.
Dan karya tulis ulama yang pertama dalam hal ini adalah kitab At Tarikh yang
ditulis oleh Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H) dan kitab Tarikh yang disusun
oleh Imam Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H). Imam adz Dzahabi menyebutkan
bahwa Al Walid bin Muslim (wafat 195 H) juga memiliki sebuah kitab Tarikh Ar
Rijaal, lalu secara berturut-turut muncul karya-karya tulis dalam ilmu ini,
dimana sebelum masa kodifikasi ini pembahasan tentang perawi hadits dan
penjelasan hal ihwal mereka hanya bersifat musyafahah(lisan), ditransfer
sedemikian rupa oleh para ulama dari masa ke masa.
C.
CABANG- CABANG ILMU RIJALUL HADITS
Para penyusun kitab-kitab dalam ilmu Rijal pada masa-masa
awal menempuh beberapa metode sehingga hal ini melahirkan percabangan dalam
ilmu rijal al hadits, diantaranya:
1.
Kitab-kitab
tentang thabaqat ar Rijal melahirkan
ilmu thobaqaat (tingkatan-tingkatan rijal) yang mencakup 4 thabaqat (sahabat,
taabi’un, atbaa’ut tabi’in dan taba’ul atba’)
2.
Kitab-kitab
Ma’rifah Ash Shohaabah melahirkan ilmu tentang ma’rifatush shohabah (pengenalan
tentang sahabat-sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam)
3. Kitab-kitab al jarh wat ta’dil melahirkan ilmu tentang al
jarh wat ta’dil
Ø Ilmu Tawarikh
Ar- Ruwah
Secara
sederhana ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah :
هوالتقريف با
لوقت الذي تضبط با لاحوال من المواليد والوفيات والوقاءع وغيرها
Adalah Ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi
keadaan kelahiran , wafat, peristiwa/kejadian lainnya.
Ilmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggal kapan mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per hadits
Atau dalam pengertian lain Ilmu Tawarikh Ar-
Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan para perawi hadits dan
biografinya dari segi kelahiran dan wafat mereka, siapa gurunya siapa muridnya
atau kepada siapa mereka menyampaikan periwayatan hadits, baik dari kalangan
sahabat, tabi’ maupun tabi’ tabiin.
Tujuan Ilmu ini adalah untuk mengetahui
bersambung(muttasil) atau tidaknya sanad suatu hadits. Maksud persaambungan
sanad adalah petemuan langsung apakah perawi berita itu bertemu langsung dengan
gurunya atau pembawa berita ataukah tidak atau hanya pengakuan saja. Semua itu
dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttasilnya sanad ini menjadi salah satu
syarat kesahihan suatu hadits dari segi sanad [Ilmu ini
berkaitan dengan perkembangan riwayat. Para ulama sangat perhatian terhadap
ilmu ini dengan tujuan mengetahui para perawi dan meneliti keadaan mereka.
Karena dari situlah mereka menimba ilmu agama. Muhammad bin Sirin pernah
mengatakan : "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa
kamu mengambil agamamu" (Muqaddimah Shahih Muslim).
Maka dengan ilmu Tarikh Rijaalil-
Hadiits ini akan sangat membantu untuk mengetahui derajat hadits dan sanad
(apakah sanadnya muttashil atau munqathi').]
Ketiga jenis kitab rijal ini pertama kali muncul di sekitar
penghujung abad II H dan pertengahan abad III H, setelah itu menjadi banyak dan
meluas
1.
Kitab-kitab Tawarikh al Mudun (sejarah kota-kota/negeri-negeri), yang memuat
biografi para ruwaat (rijaalul hadits) pada suatu negeri/kota tertentu. Ilmu
ini mulai muncul pada paruh kedua dari abad III H
2.
Kitab-kitab Ma’rifatul Asmaa wa Tamyiizuha (pengenalan terhadap nama-nama perawi
dan cara membedakannya). Ilmu ini muncul agak belakangan dari yang lainnya,
yaitu setelah jumlah periwayat dari yang lainnya, yaitu setelah jumlah
periwayat hadits semakin banyak, dan nama kuniyah dan nasab mereka banyak yang
serupa sehingga dibutuhkan pembedaannya.
3.
Kitab-kitab biografi rijaal al hadits yang terdapat pada suatu kitab hadits
atau beberapa kitab hadits tertentu. Kitab-kitab ini muncul belakangan dan
mulai meluas setelah abad V H.
D.
SEKILAS
TENTANG ILMU THABAQAT
thabaqat dalam istilah Muhadditsin adalah
suatu kaum yang berdekatan dalam umur dan isnad, atau dalam isnadnya saja, yang
mana syuyukh (guru) dari seseorang adalah syuyukh juga bagi yang lain atau
mendekati syuyukhnya yang lain.
Asal
mula pembagian perawi berdasarkan thabaqat adalah dari tuntunan Islam sendiri,
dimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain
radhiyallohu anhu, bahwasanya Rasulullah Sawbersabda: “Sebaik-baik ummatku yang ada di
zamanku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah
mereka…” Kata Imran radhiyallohu anhu, “Saya tidak tahu apakah ia menyebut
sesudah masanya dua masa atau tiga” (HR. Bukhari)
Ilmu
ini telah muncul dan berkembang di tangan para ulama hadits sejak abad ke-2 H.
Ilmu ini tidak terbatas pada pembagian ruwaat atas thabaqat berdasarkan
perjumpaan mereka terhadap syuyukh, tapi juga berkembang di kalangan
muhadditsin kepada pembagian mereka berdasarkan makna dan I’tibar yang lainnya
seperti fadhl (keistimewaan) dan sabiqah (kesenioran) sebagaimana dalam hal
sahabat, atau hal (keadaan) dan manzilah (kedudukan) seperti yang disebutkan
oleh Abbas Ad Dauraqi (wafat 271 H), ada thabaqat fuqaha, thabaqat ruwaat,
thabaqaat mufassirin dan seterusnya
Penyusunan
kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini terus berlanjut dan berkembang
hingga akhir abad-9 H. Bahkan muncul system pembagian thabaqat dalam bidang keilmuan yang lain.
Misalnya thabaqaat al qurra, thobaqaat al fuqahaa, thobaqaat ash shufiyah,
thobaqaat asy syu’ara dan sebagainya.
Imam
As Sakhawi mengatakan, “Faidah ilmu thabaqaat ini adalah keamanan dari
bercampurnya al mutasyabihin (para rijal hadits yang memiliki kesamaan);
seperti yang sama namanya atau kuniyahnya atau yang lain, kita dapat juga
menelaah terjadinya tadlis secara jelas dan menyingkap hakikat an’anah untuk
mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’ dan membedakannya dari yang
musnad…”
E.
THABAQAT
RUWAAT (RIJALUL ISNAD)
Ada empat thabaqat yang pokok bagi ruwaat/rijaalul (para
perawi) hadits, yaitu :
ü Thobaqah Pertama : Sahabat
Ash-Shahabah merupakan jamak dari Shahabi, dan Shahabi secara bahasa diambil dari kata Ash- Shuhbah, dan ini digunakan atas setiap orang yang bershahabat dengan selainnya baik sedikit maupun banyak
Dan Ash-Shahabi menurut para ahli hadits adalah setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam meskipun tidak lama pershahabatannya dengan beliau dan meskipun tidak meriwayatkan dari beliau sedikitpun.
Imam Bukhari berkata dalam Shahihnya,"Barangsiapa yang pernah menemani Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam atau melihatnya di antara kaum muslimin, maka dia termasuk dari shahabat-shahabat beliau".
Ibnu Ash-Shalah berkata,"Telah sampai kepada kami dari Abul- Mudlaffir As-Sam'ani Al-Marwazi, bahwasannya dia berkata : Para ulama hadits menyebut istilah shahabat kepada setiap orang yang telah meriwayatkan hadits atau satu kata dari beliau shallallaahu 'alaihi wasalla, dan mereka memperluas hingga kepada orang yang pernah melihat beliau meskipun hanya sekali, maka ia termasuk dari shahabat. Hal ini karena kemuliaan kedudukan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, dan diberikanlah julukan shahabat terhadap setiap orang yang pernah melihatnya".
Dan dinisbatkan kepada Imam para Tabi'in Sa'id bin Al-Musayyib perkataan : "Dapat dianggap sebagai shahabat bagi orang yang pernah tinggal bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam setahun atau dua tahun, dan ikut berperang bersamanya sekali atau dua kali peperangan". Ini yang dihikayatkan para ulama ushul- fiqh. Akan tetap Al-'Iraqi membantahnya,"Ini toadk benar dari Ibnul-Musayyib, karena Jarir bin Abdillah Al-Bajali termasuk dari shahabat, padahal dia masuk Islam pada tahun 10 Hijriyah. Para ulama juga menggolongkan sebagai shahabat orang yang belum pernah ikut perang bersama beliau, termasuk ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat sedangkan orang itu masih kecil dan belum pernah duduk bersamanya".
Ibnu Hajar berkata,"Dan pendapat yang paling benar yang aku pegang, bahwasannya shahabat adalh seorang mukmin yang pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan mati dalam keadaan Islam, termasuk di dalamnya adalah orang yang pernah duduk bersama beliau baik lama atau sebentar, baik meriwayatkannya darinya atau tidak, dan orangyang pernah melihat beliau shallallaahu 'alaihi wasallam walaupun sekali dan belum pernah duduk dengannya, dan termasuk juga orang yang tidak melihat beliau shallallaahu 'alaihi wasallam karena ada halangan seperti buta"
(Lihat Shahih Al-Bukhari tentang kutamaan para shahabat,
Ulumul-Hadiits oleh Ibnu Shalah halaman 263 , Al-ba'itsul-Hatsits halaman 179 ,
Al-Ishabah 1 /4 , Fathul-Mughits 4 /29 . dan Tadriibur-Rawi halaman 396).
ü Thobaqah Kedua : At Taabi’un
ü Thobaqah Ketiga : Atbaa’ut Taabi’in
ü Thobaqah Keempat : Taba’ul Atbaa’
F.
CARA MENGETAHUI
SHAHABAT
1. Diketahui keadaan seseorang sebagai shahabat secara mutawatir.
2. Dengan ketenaran, meskipun belum sampai batasan mutawatir.
3. Riwayat dari seorang shahabat bahwa dia adalah shahabat.
4. Atau dengan mengkhabarkan dirinya bahwa dia adalah seorang shahabat.
Dan diperselisihkan mengenai siapa
yang pertama kali masuk Islam dari kalangan shahabat. Ada yang mengatakan Abu
Bakar Ash-Shiddiq. Ada juga yang mengatakan : Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain
: Zaid bin Haritsah. Pendapat lain mengatakan : Khadijah binti Khuwailid. Ibnu
Hajar menyebutkan bahwa Khadijah adalah orangyang pertama membenarkan
pengutusan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam secara mutlak.
Ke-'adalah-an Shahabat
Ke-'adalah-an Shahabat
Menurut Ahlus-Sunnah wal- Jama'ah, semua shahabat itu adalah 'adil, karena Allah ta'ala telah memuji mereka dalam Al- Qur'an; dan As-Sunnah pun juga telah memuji akhlaq dan perbuatan mereka, serta pengorbanan mereka kepada rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam baik harta dan jiwa mereka; hanya karena ingin mendapatkan balasan dan pahala dari Allah ta'ala.
Adapun pertikaian yang terjadi sesudah beliau shallallaahu 'alaihi wasallam, ada diantaranya yang terjadi karena tidak disengaja seperti Perang Jamal. Dan ada pula yang terjadi karena ijtihad mereka seperti Perang Shiffin. Ijtihad bisa salah, bisa pula benar. Jika salah dimaafkan dan tetap mendapatkan pahala, dan jika benar maka akan mendapatkan dua pahala.
Dan di antara shahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam adalah Abu Hurairah, Abdullah bin 'Umar bin Al- Khaththab, Anas bin Malik, 'Aisyah Ummul-Mukminin, 'Abdullah bin 'Abbas, Jabir bin Abdillah Al- Anshari, dan Abu Sa'id Al-Khudry (Sa'ad bin Malik bin Sinan Al- Anshary).
Dan di antara mereka ada yang sedikit meriwayatkan, atau tidak meriwayatkan sedikitpun.
Shahabat yang paling terakhir meninggal adalah Abu Thufail 'Amir bin Watsilah Al-Laitsi, meinggal pada tahun 11 Hijriyyah di Makkah.
G.
KITAB-KITAB
TERKENAL MENGENAI SHAHABAT
a. Kitab Ma'rifat Man Nazala minash-Shahabah Sa'iral-Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah Al- Madini (wafat tahun 234 H). Kitab ini tidak sampai kepada kita.
b. Kitab Tarikh Ash-Shahabah, karya Muhammad bin Isma'il Al- Bukhari (wafat tahun 245 H). Kitab ini juga tidak sampai kepada kita.
c. Al-Isti'ab fii Ma'rifaatil-Ashhaab, karya Abu 'Umar bin Yusuf bin Abdillah yang masyhur dengan nama Ibnu 'Abdil-Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). dan telah dicetak berulang kali, di dalamnya terdapat 4.225 biografi shahabat pria maupun wanita.
d. Ushuudul-Ghabah fii Ma'rifati Ash-Shahabah, karya 'Izzuddin Bul-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazari (wafat tahun 630 H), dicetak, di dalamnya terdapat.7554 biografi.
e. Tajrid Asmaa' Ash-Shahabah, karya Al-Hafidh Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H), telah dicetak di India.
f. Al-Ishaabah fii Tamyiizi Ash- Shahaabah, karya Syaikhul-Islam Al-Imam Al-Hafidh Syihabuddin Ahmad bin Ali Al-Kinani, yang masyhur dengan nama Ibnu Hajar Al-'Asqalani (wafat tahun 852 H). Dan dia adalah orang yang paling banyak melalukan pengumpulan dan penulisan. Jumlah kumpulan biografi yang terdapat dalam Al- Ishaabah adalah 122.798 , termasuk dengan pengulangan, karena ada perbedaan pada nama shahabat atau ketenarannya dengan kunyah- nya, gelar, atau semacamnya; dan termasuk pula mereka yang disebut shahabat, namun ternyata bukan.
H.
MADAARISUL
‘ILM AL UULA (Madrasah-madrasah ilmu yang pertama kali muncul)
Ø Para Imam yang pada mereka beredar
riwayat-riwayat di kota-kota pusat ilmu
Menurut
Imam Ali ibn Abdullah Al Madini (wafat tahun 234 H) bahwa isnad itu beredar
pada 6 orang:
Untuk
Penduduk Medinah :
(1)
Ibn Syihab yaitu Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Abdillah ibn Syihab Az
Zuhri, kuniyahnya adalah Abu Bakar (wafat 124 H)
Untuk
Penduduk Mekkah :
(2)
Amru ibn Dinar, kuniyahnya Abu Muhammad (wafat 124 H)
Untuk
Penduduk Bashrah :
(3)
Qatadah ibn Di’amah As Sadusi, kuniyahnya Abul Khaththab (wafat 117 H) dan (4)
Yahya ibn Abi Katsir, kuniyahnya Abu Nashr (wafat 132 H)
Untuk
Penduduk Kufah :
(5)
Amru ibn Abdillah As Sabi’I, kuniyahnya Abu Ishaq (wafat 129 H) dan (6)
Sulaiman ibn Mihran Al A’masy, kuniyahnya Abu Muhammad (wafat 148 H)
Kemudian
ilmu mereka berenam turun kepada tokoh-tokoh berikut ini :
Untuk
Penduduk Medinah :
(1)
Malik bin Anas bin Abi ‘Amir Al Ashbahi (wafat 179 H) beliau telah mendengar
dari Ibn Syihab Az Zuhri dan
(2)
Muhammad bin Ishaq bin Yasar, kuniyahnya Abu Bakar (wafat 152 H) beliau telah
mendengar dari Ibn Syihab Az Zuhri dan Al A’masy
Untuk
Penduduk Mekkah :
(3)
Abdul Malik ibn Abdil Aziz ibn Juraij, Abul Walid (wafat 151 H) dan
(4)
Sufyan in Uyainah bin Maimun Al Hilali, kuniyah beliau Abu Muhammad (wafat 198
H); beliau bertemu Ibn Syihab, Amru ibn Dinar, Abu Ishaq dan Al A’masy
Untuk
Penduduk Bashrah :
(5)
Said ibn Abi Arubah, kuniyahnya Abun Nadhr (wafat 158/159 H) dan
(6) Hammad ibn Salamah, kuniyahnya Abu Salamah
(wafat 168 H); dan
(7)
Abu ‘Awanah Al Wadhdhah (wafat 175 H); dan
(8)
Syu’bah ibn Hajjaj, kuniyahnya Abu Bistham (wafat 160 H); dan
(9)
Ma’mar ibn Rasyid,
Untuk
Penduduk Kufah :
(10)
Sufyan ibn Said Ats Tsauri, kuniyahnya Abu Abdillah (wafat 161 H)
Untuk
Penduduk Syam :
(11)
Abdurrahman ibn Amr ibn Al Auza’I, kuniyahnya Abu Amr (wafat 151 H)
Untuk
penduduk Wasith :
(12)
Hasyim ibn Basyir, kuniyahnya Abu Muawiyah (wafat 183 H)
Kemudian
ilmu kedua belas orang tersebut sampai kepada 6 orang :
1.
Yahya ibn Said Al Qaththan, kuniyahnya Abu Sa’id (wafat 198 H)
2.
Yahya ibn Zakariyya ibn Abi Zaidah, kuniyahnya Abu Said (wafat 182 H)
3.
Waki’ ibn Al Jarrah, kuniyahnya Abu Sufyan (wafat 199 H)
4.
Abdullah ibn Al Mubarak Al Hanzhali, kuniyahnya Abu Abdirrahman (wafat 181 H)
5.
Abdurrahman ibn Mahdi Al Asadi, kuniyahnya Abu Said (wafat 198 H)
6.
Yahya ibn Adam, kuniyahnya Abu Zakaria (wafat 203 H)
Ø Madrasah-madrasah awal
1.
Madrasah Madinah Nabawiyyah
2.
Madrasah Makkah
3.
Madrasah Kufah
4.
Madrasah Bashrah
5.
Madrasah Syam
6.
Madrasah Mesir
7.
Madrasah Khurasan
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Syaikh
Manna’ Al-Qaththan. 2004. Pengantar Studi ilmu Hadits.Terj. Mifdhol
Abdurrahman, Lc. Jakarta : Pustaka Al-Kausar.
2.
Dr.
H. abdul Majid Khon, M.Ag .2008. Ulumul Hadis . Jakarta : AWZAH
3.
Drs.
Munzier Suparta. 2002. Ilmu Hadis . Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
4.
Ilmu
Ar Rijaal; Nasyatuhu wa tathawwuruh, Prof.Dr. Muhammad bin Mathar Az Zahrani
5.
Ushul
At Takhrij wa Dirasatul Asaaniid, DR. Mahmud Ath Thahhan
6.
Muqaddimah
Tahqiq Syarah Shohih Muslim lin Nawawi, pada pasal Al Isnaadu minad dien oleh
Syaikh Khalil Ma’mun Syiha
7.
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/ilmu-rijaalul-hadiits/