Sejatinya, waktu itu bukan tentang detik, menit, jam, hari,
bulan, tahun, dan seterusnya. Waktu juga bukan kalender. Itu hanyalah
hitungan tentang waktu yang kemudian menjadi formal di tengah peradaban
manusia.
Kalender merupakan karya kreativitas
manusia, sedangkan waktu itu sendiri merupakan ciptaan Tuhan. Karenanya,
jika waktu bersifat universal, maka tak begitu dengan kalender. Beragam
jenis kalender bisa ditemui di dunia ini. Ada yang disebut dengan
"Kalender Masehi" yang menjadikan kematian Isa Al Masih sebagai titik
pembeda; sebelum kematiannya disebut "Sebelum Masehi" dan setelah
wafatnya disebut dengan "Masehi". Selain itu, ada pula "Kalender Cina",
"Kalender Thailand" dan tentu saja "Kalender Islam" yang didasarkan pada
hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah. Karena sifatnya yang
parsial, maka saat ini, ketika kita merayakan Tahun Baru Hijriyah 1434,
maka tahun ini justru 2012 di Kalender Masehi, 2563 menurut Kalender
Cina, serta 2555 dalam konteks Kalender Thailand.
Dalam
suasana Tahun Baru Hijriyah kali ini, penulis hendak membahas tentang
sesuatu yang lebih mendasar dan substansial dari sekadar kalender, yakni
tentang waktu itu sendiri. Penulis hendak mengurai filosofi waktu guna
menjadi renungan bagi kita di suasana Tahun Baru Hijriyah ini. Sehingga,
waktu kita menjadi kembali independen, bebas dan penuh makna.
Kita tahu bahwa waktu sangatlah penting dalam kehidupan kita. Karenanya, banyak kita temui kata-kata mutiara seperti time is money
(waktu adalah uang), guna mendorong kita agar memanfaatkan waktu dengan
sebaik-baiknya. Namun, bukan itulah filosofi waktu. Sebab, jika waktu
diandaikan sebagai uang, maka waktu bukan hanya tak lagi independen,
melainkan menjadi sangat kapitalistik; waktu dinilai bermanfaat jika
diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menhasilkan uang semata. Ironi!
Kita
juga telah mengkotak-kotakkan waktu kita sesuai dengan kalender. Kita
memahami Senin sebagai hari yang menyebalkan, karena Senin adalah hari
aktif pertama setiap pekan, baik untuk bekerja, belajar atau melakukan
rutinitas lainnya. Dan, tentu, yang kita selalu harapkan adalah akhir
pekan (weekend), karena di hari itu kita libur dan bebas
melakukan aktifitas yang menghibur. Padahal, dalam salah satu perkataan
mulianya, Sayyidina Ali Bin Abi Thalib menegaskan bahwa bagi seorang
Muslim seharusnya setiap waktunya adalah membahagiakan. Sebab, bagi
seorang Muslim, seharusnya segala aktifitasnya dipahami dalam konteks
ibadah. Dan, sejatinya, kebahagiaan sejati didapat dalam praktek ibadah.
Karenanya, sebenarnya setiap waktu Muslim adalah sakral dan karenanya
membahagiakan.
Waktu kita terasa banal
dan tak sakral. Sehingga, kita isi waktu kita dengan berbagai rutinitas
yang tak bermakna, atau bahkan membuang-buangnya untuk sesuatu yang
negatif. Sehingga, pada akhirnya, hidup kita 'pun ikut banal. Sebab,
waktu terkait erat dengan keber-Ada-an manusia. Singkatnya, mustahil
hidup manusia menjadi bermakna jika mereka tak mampu memaknai waktunya.
Itulah setidaknya hipotesa Martin Heidegger, filosof Jerman tersohor
itu, yang kemudian ditulisnya dalam bukunya yang berjudul "Sein und Zeit" (Ada dan Waktu).
Oleh karena itu, untuk menghindari banalitas waktu, setiap manusia patut terus merasa cemas (sorge). Sebab, dengan begitu, kita bisa menghayati waktu secara otentik dan bermakna. Menurut Soren
Kierkegaard, filsuf Denmark yang juga Bapak Eksistensialisme, kecemasan
bersifat ontologis dan signifikan karena akan menggiring manusia pada
iman. Sebab, ketika merasa cemas, manusia akan melompat kepada iman.
Sehingga, kecemasan itu akan mendorong manusia modern ini untuk kembali
beriman dan taat terhadap keimanannya. Pada ujungnya,
mereka akan kembali menghayati setiap kegiatannya sebagai ibadah. Maka,
waktunya 'pun akan kembali sakral dan bermakna.
Sebagaimana
ditegaskan pula oleh Heidegger, dengan suasana hati yang selalu cemas,
setiap individu akan menghayati setiap detik waktunya secara otentik dan
bermakna. Dengan kecemasan, manusia tak akan melewati
waktunya kecuali untuk sesuatu yang otentik dan bermakna. Mereka akan
menghabiskan waktunya sebagaimana seorang anak yang sedang berada di
dalam ambulans yang sedang mengantar ibunya yang sedang sekarat ke rumah
sakit. Setiap detik menjadi sangat penting dan berarti.
Dan,
bagi Heidegger, kecemasan yang paling otentik yaitu kecemasan akan
kematian. Sebab dengan suasana hati yang selalu cemas akan kematian,
seseorang akan selalu memanfaatkan dan mengisi waktunya dengan otentik
dan penuh makna. Persis seperti nasehat Sayyidina Ali Bin Abi Thalib
yang menganjurkan manusia agar selalu mengingat dan membayangkan
seolah-olah ia akan mati esok hari.
Inilah
seharusnya renungan kita dalam momentum pergantian tahun. Filosofi waktu
seperti di atas yang patut kita terapkan dalam melihat dan menghayati
waktu kita. Sehingga, waktu kita menjadi bermakna. Dan, pada akhirnya,
kita tak menjadi seseorang yang oleh Qur'an disebut sebagai "manusia
merugi" dalam QS. Al ‘Ashr. Wallahu a'lam.
* Peminat Studi Keagamaan & Filsafat. Penulis buku "Islam "Madzhab" Fadlullah"