( WASPADA TERHADAP AHLUL KRITIK )
Penulis : FAHRUR MU’IS
I. MUKADIMAH
Islam
adalah agama universal yang memiliki makna menampakkan ketundukan dan
melaksanakan syariah serta menetapi apa saja yang datang dari
Rasulullah. Semakna dengan hal ini, Allah juga memerintahkan umat Islam
agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Yakni, memerintahkan kaum
muslimin untuk mengamalkan syariat Islam dan cabang-cabang iman yang
begitu banyak jumlah dan ragamnya. Pun mengamalkan apa saja yang
diperintahkan dan meninggalkan seluruh yang dilarang semaksimal mungkin.
Namun,
dewasa ini banyak nilai-nilai Islam yang ditinggalkan oleh kaum
muslimin. Salah satunya adalah dalam masalah jilbab. Hal ini tampak dari
banyaknya kaum muslimah yang tidak mempraktikkan syariat ini dalam
keseharian mereka. Akibatnya, mereka kehilangan identitas diri sebagai
muslimah sehingga sulit dibedakan mana yang muslimah dan non-muslimah.
Fenomena
tersebut bisa disebabkan oleh ketidaktahuan, keraguan, ataupun
terbelenggu dalam hawa nafsu. Namun, yang lebih bahaya dari itu semua
adalah adanya usaha pengkaburkan bahwa jilbab bukanlah sebuah kewajiban
agama, melainkan produk budaya Arab. Pengkaburan dari pemikiran yang
benar ini telah dilakukan oleh beberapa pihak, baik dari luar umat Islam
maupun dari dalam umat Islam sendiri.
Dari dalam tubuh umat Islam sendiri, pandangan nyleneh tersebut pernah dilontarkan oleh beberapa tokoh. Di antaranya adalah Muhammad
Sa’id Al-Asymawi, seorang tokoh liberal Mesir, yang memberikan
peryataan kontroversial bahwa jilbab adalah produk budaya Arab.
Pemikarannya tersebut dapat dilihat dalam buku Kritik Atas Jilbab yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation.
Dalam
buku tersebut diyatakan bahwa jibab itu tak wajib. Bahkan Al-Asymawi
dengan lantang berkata bahwa hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang
pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad
yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib
dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutipannya: “Ungkapan
bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka.
Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang
merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya,
juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya,
perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan
aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba
aurat.
Buku tersebut secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.[1]
Pernyataan
kontroversi tentang jilbab juga dilontarkan oleh pakar tafsir Indonesia
M. Quraish Shihab. Pemikirannya tersebut dapat dilihat dalam Tafsir Al-Misbah dan Wawasan Al-Qur’an.
Tulisan
ini bermaksud untuk mengkritisi tafsir M.Qurais Shihab tentang ayat
jilbab (surat Al-Ahzab ayat 59) yang ia tulis dalam salah satu bukunya
yang berjudul Tafsir Al-Misbah. Hal ini dilakukan untuk
membendung terjadinya penyesatan pemikiran di kalangan umat Islam dengan
memaparkan berbagai pendapat ulama yang diakui otoritas ilmunya
(mu’tabar) baik yang salaf maupun kontemporer.
II. BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB
Sebelum mengkaji secara kritis tulisan M. Quraish Shihab tentang jilbab dalam Tafsir Al-Misbah,
penulis memandang perlu terlebih dahulu untuk menyampaikan biografi
singkatnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kejelasan latar
belakangnya dan kiprahnya selama ini.
M.
Quraish Shihab adalah seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu Al-
Qur’an dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998). Ia
dilahirkan di Rappang, pada tanggal 16 Februari 1944. Ia adalah kakak
kandung mantan Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu, Alwi Shihab.
Setelah
menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, ia melanjutkan
pendidikan tingkat menengah di Malang, yang ia lakukan sambil menyantri
di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah.
Pada
tahun 1958 dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II
Tsanawiyah Al-Azhar. Tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada fakultas
Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadits Universitas Al Azhar. Ia kemudian
melanjutkan pendidikan di fakultas yang sama dan pada tahun 1969 meraih
gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Qur’an dengan tesis
berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’i li Al-Qur’an Al-Karim.
Sekembalinya
ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor
bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Selain itu, ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam
lingkungan kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah
VII Indonesia Bagian Timur, maupun di luar kampus seperti Pembantu
Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental.
Selama di Ujung Pandang, ia juga sempat melakukan beberapa penelitian;
antara lain, penelitian dengan tema “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama
di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978).
Tahun
1980 , Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di
almamater lamanya. Tahun 1982 ia meraih doktornya dalam bidang ilmu-ilmu
Al- Qur’an dengan disertasi yang berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah, Ia lulus dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma`a martabat al-syaraf al-’ula).
Sekembalinya
ke Indonesia, sejak 1984 Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas
Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Selain itu, di luar kampus, ia juga dipercayakan untuk menduduki
berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat
(sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashbih Al-Qur’an Departemen Agama
(sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak
1989). Ia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional;
antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari`ah; Pengurus
Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan
Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
M. Quraish Shihab juga sangat aktif sebagai penulis. Beberapa buku yang sudah ia hasilkan antara lain :Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984), Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987), Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta:Untagma, 1988), Membumikan Al-Qur’an (Bandung:Mizan, 1992), dan Tafsir Al-Mishbah, tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati).[2]
III. PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG JILBAB
Dalam
Al-Qur’an, Allah berfirman tentang jilbab hanya di satu tempat, yaitu
surat Al-Ahzab ayat 59. Karena itu, selanjutnya ia populer dikenal
dengan ayat jilbab. Ayat yang dimaksud ialah:
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai
Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
Dalam
menafsirkan ayat di atas, M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang
aneh dengan manyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita muslimah
memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
“Ayat
di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena
agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara
memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini
diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan
yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah,
terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang
belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.”[3]
Demikianlah
pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini
terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap pendapatnya tersebut.
Di
samping mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat
An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga mengulanginya dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Tidak hanya itu, ia juga menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia
bahkan mempertanyakan hukum jilbab dengan mengatakan bahwa tidak
diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas
seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an. Tetapi apa
hukumnya?[4]
M.
Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat beberapa ulama
kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan
pendapat ganjilnya tersebut. Ia menulis:
Di
atas—semoga telah tergambar—tafsir serta pandangan ulama-ulama
mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat
wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh
banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk
mengemukakan pendapat yang berbeda—dan boleh jadi dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas
wanita Muslim dewasa ini.[5]
Selanjutnya,
M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab
dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن
نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى
التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك (مقاصد الشريعة ص 91)
Kami
percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya
sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan
tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin
Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah
Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33):
59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya.
Tulisnya:
و
فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ” فهذا شرع روعيت فيه
عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا ينالهم من هذا التشريع
نصيب ” مقاصد الشريعة ص 19
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang
mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang
tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi
mereka) ketentuan ini.[6]
Untuk
mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa meskipun
ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua
perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula,
menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya.[7]
M. Qurash Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang,
kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah
dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin
berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan
terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan
tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.”
Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika
membahasnya berbeda pendapat.[8]
Dari
pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki
pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar,
pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua,
ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian
wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut
batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu
bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal
Arab daripada kewajiban agama. Betulkah kesimpulannya tersebut? Tulisan
ini mencoba untuk mengkritisinya.
IV. KRITIK ATAS PENAFSIRAN M. QURAIS SHIHAB
A. Makna Jilbab dan Mengulurkan Jilbab dalam Al-Qur’an
Sebelum
masuk pada inti pembahasan, ada baiknya disampaikan terlebih dahulu
tentang makna jilbab dalam pandangan Al-Qur’an. Secara bahasa, kata al-jilbab sama dengan kata al-qamish atau baju kurung yang bermakna baju yang menutupi seluruh tubuh. Ia juga sama dengan al-khimar
atau tudung kepala yang bisa dimaknai dengan apa yang dipakai di atas
baju seperti selimut dan kain yang menutupi seluruh tubuh wanita.[9]
Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab
mengatakan bahwa jilbab berarti selendang, atau pakaian lebar yang
dipakai wanita untuk menutupi kepada, dada, dan bagian belakang
tubuhnya.[10]
Jilbab berasal dari kata kerja jalab
yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga
tidak dapat dilihat. Dalam masyarakat Islam selanjutnya, jilbab
diartikan sebagai pakaian yang menutupi tubuh seseorang. Bukan hanya
kulit tubuhnya tertutup, melainkan juga lekuk dan bentuk tubuhnya tidak
kelihatan.
Penelusuran
atas teks Al-Qur’an tentang jilbab agaknya tidak sama dengan pengertian
sosiologis tersebut. Para ahli tafsir menggambarkan jilbab dengan cara
yang berbeda-beda. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab adalah
selendang di atas kerudung. Ini yang disampaikan Ibnu
Mas’ud, Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair Al-Nakha’i, Atha
Al-Khurasani dan lain-lain. Ia bagaikan “izar” sekarang. Al-Jauhari,
ahli bahasa terkemuka, mengatakan izar adalah pakaian selimut atau
sarung yang digunakan untuk menutup badan.
Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani tentang firman Allah, “يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ” maka ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya.[11]
Para
ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah mengulurkan jilbab yang
dimaksudkan Allah dalam ayat jilbab. Sebagian mereka ada yang
menafsirkan dengan menutup wajah dan kepala serta hanya menampakkan satu
mata, dan sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan menutup muka
mereka.[12]
Menurut
Al-Qurthubi, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh badan. Ia juga
menyebutkan bahwa menurut Al-Hasan, ayat tersebut memerintah kaum wanita
untuk menutup separo wajahnya.[13]
Azzamakhsyari dalam Alkasysyaf
merumuskan jilbab sebagai pakaian yang lebih besar daripada kerudung,
tetapi lebih kecil daripada selendang. Ia dililitkan di kepala perempuan
dan membiarkannya terulur ke dadanya. [14]
Menurut Abu Bakar Al-Jazairi, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka artinya
mengulurkan jilbab ke wajah mereka sehingga yang tampak dari seorang
wanita hanyalah satu matanya yang digunakan untuk melihat jalan jika dia
keluar untuk suatu keperluan.[15]
At-Tirmidzi dalam Al-Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah
menafsirkan mengulurkan jilbab dengan menutup seluruh tubuh, kecuali
satu mata yang digunakan untuk melihat. Di antara yang memaknainya
demikian ialah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abidah As-Salmani, dan
lain-lain.[16]
Menurut
Wahbah Az-Zuhaili, ayat jilbab menunjukkan wajibnya menutup wajah
wanita. Karena para ulama dan mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari,
Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan
mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, badan, dan rambut dari
orang-orang asing (non mahram) atau ketika keluar untuk sebuah
keperluan.[17]
Dari
rujukan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa jilbab pada umumnya
adalah pakaian yang lebar, longgar, dan menutupi seluruh bagian tubuh.
Sementara itu, para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Di antara tafsiran mereka terhadap ayat tersebut ialah: menutup wajah
dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya; menutup seluruh
badan dan separuh wajah dengan memperlihatkan kedua mata; dan
mengulurkan kain untuk menutup kepala hingga dada.
Dengan
demikian, dapat kita ketahui bahwa para ahli tafsir dari dahulu hingga
sekarang telah bersepakat bahwa jilbab adalah sebuah kewajiban agama
bagi kaum wanita. Mereka bersepakat tentang wajibnya memakai jilbab dan
berbeda pendapat tentang makna mengulurkan jilbab: apakah mengulurkan ke
seluruh tubuh kecuali satu mata, mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali
dua mata, atau mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali muka. Jadi, pendapat
M. Qurais Shihab yang menyatakan bahwa kewajiban mengulurkan jilbab
adalah masalah khilafiyah jelas tidak berdasar. Sebab, para ulama ahli
tafsir sejak dahulu hingga sekarang telah bersepakat tentang kewajiban
memakai jilbab bagi kaum muslimah. Sebab, perintah tersebut didasari atas dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits dan qarinah (petunjuk) yang sangat kuat.
B. Tafsir Ayat Jilbab
Bagaimanakah
para ulama yang terpercaya dari zaman dahulu hingga sekarang
menafsirkan ayat jilbab? Apakah pendapat mereka sesuai dengan pendapat
M.Qurais Shihab ataukah justru bertentangan? Untuk mengetahui hal itu,
kita perlu mengkaji buku-buku tafsir yang sudah diakuai dan diterima
oleh umat Islam di dunia. di antaranya ialah:
- Tafsir Ibnu Abbas
Dalam
menafsirkan ayat jilbab tersebut, Ibnu Abbas menuturkan, “Selendang
atau jilbab tudung wanita hendaklah menutupi leher dan dada agar
terpelihara dari fitnah atau terjauh dari bahaya zina.[18]
2. Tafsir Al-Qurthubi
Dalam
menafsirkan ayat jilbab tersebut, Al-Qurthubi menulis, “Allah
memerintahkan segenap kaum muslimah agar menutupi seluruh tubuhnya, agar
tidak memperlihatkan tubuh dan kulitnya kecuali di hadapan suaminya,
karena hanya suaminya yang dapat bebas menikmati kecantikannya.”[19]
3. Tafsir Ibnu Katsir
Menurut tafsir Ibnu Katsir, dalam surat Al-Ahzab ayat 59 Allah
memerintah Rasul-Nya agar menyuruh wanita-wanita mukminat—khususnya
para istri dan anak beliau karena kemuliaan mereka—untuk mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka guna membedakan dari wanita jahiliyah
dan budak. Jilbab adalah selendang di atas kerudung. Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani tentang firman Allah, “يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ” maka ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya. [20]
4. Tafsir Sayyid Qutb
Menurut
Sayyid Qutb, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada istri-istri
Nabi dan kaum muslimah umumnya agar setiap keluar rumah senantiasa
menutupi tubuh, dari kepala sampai ke dada dengan memakai jilbab tudung
yang rapat, tidak menerawang, dan juga tidak tipis. Hal demikian
dimaksudkan untuk menjaga identitas mereka sebagai muslimah dan agar
terpelihara dari tangan-tangan jahil dan kotor. Karena mereka yang
bertangan jahil dan kotor itu, pasti akan merasa kecewa dan mengurungkan
niatnya setelah melihat wanita yang berpakaian terhormat dan mulia
secara islam.[21]
5. Tafsir Ath-Thabrasi
Maksudnya, katakanlah kepada mereka untuk menutup dadanya dengan jilbab, yaitu pakaian penutup yang membalut keindahan wanita.[22]
6. Tafsir Wahbah Az-Zuhaili
Maksudnya,
Allah meminta Rasul-Nya memerintahkan wanita-wanita mukminat, khususnya
para istri dan anak beliau, jika keluar rumah untuk menutupkan
jilbab-jilbab mereka agar membedakannya dari para budak. Ayat ini
menunjukkan wajibnya menutup wajah wanita. Karena para ulama dan
mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu
Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan mengulurkan jilbab adalah
menutup wajah, badan, dan rambut dari orang-orang asing (non mahram)
atau ketika keluar untuk sebuah keperluan.[23]
Dari
penafsiran para ulama yang memiliki otoritas dalam tafsir Al-Qur’an
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sepakat atas wajibnya
jilbab bagi kaum muslimah. Penafsiran mereka sudah diakui kebenarannya
dan diamalkan oleh umat Islam selama berabad-abad lamanya. Lalu,
bagaimana bila tiba-tiba pendapat tersebut dimentahkan dan disalahkan
oleh satu orang yang datang belakangan yang otoritasnya dalam ilmu agama
masih dipertanyakan? Apakah dapat diterima oleh logika?
Sesungguhnya,
praktik para shahabiyyat yang tidak disanggah oleh Rasulullah bahkan
dikuatkan, dan pemahaman para shahabiyyin, serta penerimaan ummat dari
generasi ke generasi, secara keseluruhan, menjadi bukti dan qarinah
(petunjuk) bahwa yang dimaksud dalam ayat jilbab adalah para wanita
harus menutup seluruh anggota badan, tanpa kecuali, atau dengan
pengecualian wajah dan kedua telapak tangan.
Rupanya
M.Quraish Shihab mengkritisi pendapat para ulama yang memiliki otoritas
dalam ilmu agama dan sama sekali tidak mengkritisi pendapat tokoh yang
dianutnya, baik Muhammad Thahir bin Asyur maupun Al-Asymawi yang
notabenenya penganut paham liberal dan pluralisme agama. Seharusnya
M.Quraish Shihab lebih kritis terhadap pendapat kedua tokoh tersebut
yang otoritas ilmu agamanya masih diragukan, dan bukannya malah langsung
mengikutinya tanpa memberi catatan. Ini jelas menunjukkan sikap
ketidakadilan ilmiah. Di samping, perbandingan tersebut memang
dipaksakan dan asal mencari pendapat yang longgar.
C. Batasan Aurat dalam Islam
Benarkah
Al-Qur’an tidak menyebutkan batas aurat sebagaimana yang dikatakan oleh
M. Quraish Shihab? Untuk menjawab pertanyan ini, kita perlu membaca
surat An-Nur ayat 31 beserta tafsirannya. Ayat yang dimaksud ialah:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“…
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…(An-Nur: 31).
Ulama
madzhab sepakat bahwa semua badan wanita adalah aurat, selain muka dan
dua telapak tangannya, berdasarkan firman Allah dalam Surat An-Nur, ayat
31:
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“…
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya…. “
Yang
dimaksud dengan perhiasan yang nampak itu adalah muka dan dua telapak
tangan. Sedangkan yang dimaksud dengan khimar adalah tutup kepala, bukan
penutup muka; dan yang dimaksud dengan jaib adalah dada. Para
wanita itu telah diperintahkan untuk meletakkan kain penutup di atas
kepalanya dan melebarkannya sampai menutupi dadanya.[24]
Menurut
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, para ulama sepakat bahwa seluruh tubuh
wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangannya. Abu Hanifah
menambah pengecualian itu dengan kedua kaki hingga mata kaki.[25]
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa maksud
kerudung dalam ayat di atas adalah kain yang menutupi kepala. Kata dada
juga meliputi leher. Dengan demikian, kerudung itu wajib menutupi
kepala, leher, dan dada. Itulah batas bagian atas dari hijab. Lalu di
mana batas bagian bawahnya? Jawabannya terdapat dalam bagian ayat
berikutnya:
وَلَا
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur [24]: 31)
Perhiasan
kaki adalah gelang-gelang kaki. Karena para wanita menutupi tubuh
mereka sampai ke kaki, maka mereka mengentakkan kaki untuk menunjukkan
perhiasan yang ada di balik pakaian yang menutupi pergelangan kaki
mereka. Ayat ini menunjukkan bahwa wanita harus menutupi kaki mereka
sampai tumit.[26]
Menurut
Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang
masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS. 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’,
menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangannya. Di antara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat,
telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah
seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.
Di
antara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik
wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.
Qaradhawi menyatakan—bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali
wajah dan telapak tangan— adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi’in
sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak daripadanya.”[27]
Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama Syiah juga ada kesimpulan, bahwa “apa yang biasa tampak daripadanya’’
ialah “wajah dan telapak tangan’’ dan perhiasan yang ada di bagian
wajah dan telapak tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan, “… dari sini
cukup jelas bahwa menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib
bagi wanita, bahkan tidak ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang
terdapat pada wajah dan dua telapak tangan yang memang sudah biasa
dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak pernah lepas dari wanita.”[28]
Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran,
M. Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa para ulama besar,
seperti Said bin Jubair, Atha, dan Al-Auza’iy berpendapat bahwa yang
boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang
dipakainya. (hal. 175-176).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda tentang batas aurat wanita yang wajib ditutup:
يَا
أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ
أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ
وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ
يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
“Wahai
Asma’, wanita yang sudah haid harus menutupi seluruh tubuhnya, kecuali
ini dan ini’ sambil menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud).[29]
Hadits
ini dengan jelas menunjukkan bahwa aurat wanita yang sudah balig ialah
seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Hadits ini
dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani, seorang ulama ahli hadits yang
otoritas ilmunya tidak diragukan lagi.
Selain
itu, ada hadits juga yang menunjukkan bahwa wanita pada zaman Nabi
berhasrat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama mereka dengan
benar. Yakni, suatu hari istri Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf bertanya
kepada Ummu Salamah, “Aku sering berjalan di tempat-tempat kotor.
Bagaimana mungkin aku memanjangkan pakaianku?” Ummu salamah menjawab,
“Rasulullah bersabda:
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
‘Pakaian itu akan dibersihkan oleh apa yang mengenainya setelah kotoran itu.’” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan Ad-Darimi).
Sekali
lagi, dua petunjuk Nabi tersebut menyimpulkan bahwa wanita harus
menutupi tubuh bagian atasnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Sementara tubuh bagian bawahnya sama sekali tidak boleh terlihat.
Dalam menafsirkan surat An-Nur ayat 31, Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa kata khumur adalah jama’ dari kata khimar yang berarti sesuatu yang menutupi kepala wanita dan menutupinya dari pandangan laki-laki. Sedangkan kata juyub adalah jama’ dari kata jaib
yang artinya dada. Maknanya, hendaklah para wanita muslimah memakai
kerudung hingga menutupi dada mereka, agar dada mereka tidak kelihatan
sama sekali.
Ia
melanjutkan, wanita pada masa jahiliyah—seperti yang terjadi pada masa
jahiliyah modern saat ini—berjalan di hadapan laki-laki dengan membuka
dada, atau dadanya sengaja diperlihatkan untuk menunjukkan keindahan
tubuh dan rambutnya untuk menarik laki-laki. Mereka memakai kerudung
pada bagian belakang, sementara dada mereka tetap terbuka lebar. Maka
dari itu, wanita-wanita mukminat diperintahkan oleh Allah agar menutupi
dada mereka dengan kerudung hingga dada mereka tertutup rapat agar
terjaga dari tangan-tangan jahil.[30]
Ditambah lagi, para ulama juga memberikan beberapa syarat bagi busana muslimah. Syarat-syarat tersebut ialah:
1. Busana tidak boleh berfungsi sebagai perhiasan.
2. Tidak terbuat dari kain tipis yang transparan.
3. Tidak ketat dan mencetak bentuk badan.
4. Tidak menggunakan bahan pewangi yang manusuk hidung.
5. Tidak menyerupai busana laki-laki.
6. Tidak menyerupai busana orang kafir.
7. Busana ini tidak dikenakan untuk tujuan popularitas.[31]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa batasan aurat dalam Islam sangat jelas. Al-Quran
sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu
seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan.
Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda
adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup?
Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian menyatakan wajah
boleh dibuka.
Pendapat
M. Quraish Shihab tersebut harus diklarifikasi agar tidak terjadi
kekacauan berpikir dan penyesatan umat. Apalagi, sebagai seorang
intelektual dan dai ia harus menjunjung tinggi amanah ilmiah dan
membimbing umat ke jalan yang benar.
D. Universalisme Risalah Islam
Dalam
uraian sebelumnya telah dijawab dua pokok pendapat ganjil M. Qurais
Shihab. Pendapat ketiga yang akan dikritisi dalam tulisan ini ialah
pandangannya bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan
keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban
agama.
Ini
adalah pendapat yang sangat aneh. Bahkan tak seorang ulama pun yang
memiliki otoritas ilmu pernah melontarkannya. Pendapat M. Qurais Shihab
yang mengatakan bahwa perintah jilbab bersifat anjuran dan bukan
keharusan ini tampak mengada-ada. Karena, perintah tersebut tidak pernah
dipahami seperti itu oleh Nabi, shahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan
seluruh umat Islam hingga sekarang.
Bila merujuk ilmu ushul fikih, ayat jilbab jelas berupa al-amr atau perintah. Al-Amr adalah tuntutan perbuatan dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih bawah. Atau bisa juga dikatakan bahwa al-amr
adalah suatu lafal yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi
derajatnya untuk memimnta bawahannya mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak. Dengan demikian, pada dasarnya perintah itu menunjukkan suatu kewajiban.[32]
Lalu,
benarkah pendapatnya yang mengatakan bahwa jilbab yang merupakan salah
satu syariat Islam lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban
agama? Pendapat ini tidak memiliki dasar yang kuat. Karena seluruh
ajaran Islam turun di Arab, apakah syariat Islam berarti hanya berisi
budaya lokal Arab dan hanya untuk orang Arab?
Sayyid
Sabiq menjelaskan bahwa risalah Islam bukanlah risalah yang bersifat
lokal yang terbatas ataupun parsial, yang khusus untuk suatu generasi
atau suku bangsa tertentu saja sebagaimana halnya risalah-risalah
sebelumnya. Namun, ajaran Islam merupakan ajaran universal yang mencakup
seluruh umat manusia hingga hari Kiamat, yaitu pada saat seluruh
makhluk menghadap Allah ta’ala. Ajaran Islam tidaklah terfokus untuk
kota tertentu atau terbatas dengan waktu tertentu.[33]
Di antara dalil-dalilnya ialah firman Allah:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Mahasuci
Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya,
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Al-Furqan: 1)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ(28)
“Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Saba’: 34).
قُلْ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي
لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي
وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah,
‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu
Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan
ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk’.” (Al-A’raf: 158).
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa di antara argumentasi yang membuktikan akan universalitas ajaran Islam adalah sebagai berikut:
1. Tidak terdapat permasalahan yang sulit untuk diyakini atau sukar dilaksanakan.
2. Permasalahan
yang tidak terkait oleh perubahan tempat dan waktu, seperti masalah
akidah dan ibadah, maka diterangkan dengan sempurna dan secara
terperinci. Adapun permasalahan yang mengalami perubahan yang disebabkan
situasi dan kondisi, misalnya hal-hal yang menyangkut soal peradaban,
urusan-urusan politik dan peperangan, maka diterangkan secara global
agar dapat mengikuti kepentingan manusia pada setiap waktu dan tempat.
3. Seluruh
ajaran Islam bertujuan untuk menjaga kepentingan agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Keadaan semacam ini lebih sesuai dengan fitrah dan
akal, perkembangan zaman dan cocok untuk diaplikasikan di segala tempat
dan waktu.[34]
Dari
pendapat para ulama yang otoritatif di atas, bisa disimpulkan bahwa
ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita
adalah bersifat universal serta berlaku untuk semua wanita. Mengapa?
Sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara
tubuh wanita di satu tempat dengan tempat yang lain, baik di Arab, Jawa,
maupun Cina. Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat
universal.
Pendapat
M. Qurais Shihab yang mengatakan bahwa memakai jilbab tidak wajib,
karena ayat-ayat jilbab sangat terkait dengan konteks tertentu (ada asbabun nuzul-nya),
dan hendaknya hal tersebut menjadi pertimbangan utama sebuah keputusan
hukum, dapat dijawab dengan dua hal sebagaimana yang ditulis Adian
Husaini, yaitu:
Pertama,
rangkaian sebelum dan sesudah ayat jilbab dan hijab dalam surah An-Nur
dan Al-Ahzab menunjukkan bahwa alasan diwajibkannya memakai jilbab
adalah demi al-hisymah (menjaga kehormatan wanita agar tetap terpuji), bukan sekadar untuk membedakan antara wanita merdeka dan hamba sahaya.
Kedua, istilah asbabun nuzul
(sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an) dalam tradisi ulama Islam tidak
dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), yang
berarti kalau peristiwa itu tidak turun, maka ayatnya tidak turun.
Tapi, lebih berperan sebagai peristiwa/audio visual (alat peraga) yang
mengiringi turunnya ayat. Selain itu, mengkhususkan lafal ayat Al-Quran
hanya berlaku pada kasus tertentu, tidak bersifat umum, berarti
menzalimi lafal itu sendiri.
Sebab,
lafal yang dasarnya bersifat umum dan menunjuk makna yang telah jelas
digunakan pemakainya, tidak bisa dikhususkan atau dialihkan ke makna
lain, kecuali didukung bukti kuat. Dan asbabun nuzul tidak cukup kuat untuk mengkhususkan pesan umum sebuah lafal.[35]
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa pendapat M. Quraish Shihab dalam
masalah jilbab adalah pendapat yang aneh dan ganjil di kalangan ulama
Islam. Sebab, pendapat tersebut sama sekali tidak dikenal dan tak pernah
terlontarkan di antara mereka. Dengan demikian, hal itu jelas
mengindikasikan bahwa pendapat tersebut tidak benar.
V. PENUTUP
Dari seluruh pembahasan dalam tulisan ini dapat disimpulkan beberapa poin. Pertama,
jilbab bukanlah masalah khilafiyah karena seluruh ulama telah sepakat
atas kewajibannya bagi muslimah. Yang menjadi perbedaan pendapat di
antara mereka adalah dalam menutup sebagian tangan, wajah, dan sebagian
kaki.
Kedua,
batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuh mereka kecuali
wajah dan telapak tangan sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Ketiga, perintah jilbab itu bersifat wajib dan berlaku
bagi seluruh muslimah di mana saja mereka berada karena syariat Islam
bersifat universal dan telah final.
Untuk
menutup tulisan ini, perlu penulis sampaikan tentang nasihat agar tidak
asal berpendapat dan berijtihad sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad
Al-Muqaddam. Imam Malik meriwayatkan, “Seseorang mengabarkan kepadaku
bahwa ia menjumpai Rabi’ah yang didapatinya sedang menangis. Ia
bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis? Adakah musibah yang terjadi
padamu?’ Lalu, tangisnya mereda dan ia menjawab, ‘Tidak, saya menangis
karena orang yang tak berilmu telah dimintai fatwa sehingga muncul dalam
Islam sebuah perkara besar.’ Rabi’ah berkata, ‘Sungguh sebagian orang
yang berfatwa di sini lebih layak dikurung daripada para pencuri’.”
Imam
Ibnu Hazm menjelaskan bahwa tiada penyakit yang lebih membahayakan bagi
ilmu dan ahlinya daripada orang asing yang bukan termasuk dari ahli
ilmu. Mereka bodoh, tapi menyangka diri mereka berilmu. Mereka merusak,
tapi mengklaim diri mereka membuat perbaikan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa jika seseorang berbicara tidak pada bidangnya, ia akan mendatangkan segala keanehan.
Sebagian para pengarang menulis bahwa pendapat aneh
dari sebagian ulama dalam urusan syariah dan berkata dengan sesuatu
yang tidak dikatakan siapa pun ialah dua indikasi adanya kerusakan dalam
akal.”
Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib berkata,
“Sesuatu yang tidak dikenal bukanlah bagian dari ilmu. Sebab, ilmu
ialah sesuatu yang dikenal dan semua orang menyepakatinya.”
Ibrahim bin Abi ‘Ablah berkata, “Siapa mengusung ilmu yang keliru, ia telah membawa kejelekan yang banyak.”
Asy-Syathibi
berkata, “Adanya pelanggaran terhadap perbuatan para pendahulu
disebabkan oleh orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli ijtihad yang
salah atau menyalahkan orang lain.”
Al-Amir
Syakib Arsalan menjelaskan bahwa di antara sebab kaum muslimin
tertinggal ialah karena ilmu yang kurang. Hal itu jauh lebih berbahaya
daripada sedikit kebodohan. Sebab, jika Allah memberikan kepada orang
yang bodoh seorang pembimbing yang alim, ia akan menaati
dan tidak akan berkilah. Sementara orang yang ilmunya kurang, ia tidak
tahu dan tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu. Ini sesuai dengan
ungkapan yang mengatakan, ‘Cobaan kalian dengan seorang yang gila lebih
baik dari cobaan kalian dengan orang yang setengah gila.’ Bisa pula saya
katakan, ‘Cobaan kalian dengan orang yang bodoh lebih baik daripada
cobaan kalian dengan orang yang tampak seperti orang alim’.”[36]
Terakhir,
semoga M. Quraish Shihab menyadari kekhilafannya dan menarik
pendapatnya yang ganjil tentang jilbab serta mengumumkannya ke publik.
Sekali lagi, pendapat tersebut telah menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an
dan hadits, serta pemahaman mayoritas ulama yang otoritatif. Apalagi,
jika tidak bertobat, ia juga akan menanggung dosa orang-orang yang
mengikuti pandapatnya. Wallahu a’lam.
V. REFERENSI
Abu Ali Al-Fadhl bin Hasan bin Fadhl Ath-Thabrasi. 1997. Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah.
Abu Bakar Al-Jazairi, Aisarut Tafasir. http://www.altafsir.com
Al-Hafidz Ibnu Katsir. 2003. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Cairo: Darul Hadits.
At-Tirmidzi. Al-Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah. tt.Urdun: Al-Makatabah Al-Islamiyyah.
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf. www. altafsir.com
H.A. Djazuli dan I. Nurol Aen. 2000. Usul Fiqih, Metodologi Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. www. altafsir. com
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab.tt. Beirut: Dar Shadir.
Muhammad Ali Ash-Shabuny. 2002. Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat An-Nur-Fathir, (terj.) Munirul Abidin, MA, dari judul Qabasun min Nuril Qur’anil Karim. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah. Al-Mu’’jam Al-Wasith, tt.
Muhammad Al-Muqaddam. 2003. Fiqih Asyratus Sa’ah. Iskandaria: Dar Alamiyah.
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. 2000. Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an. Mekah: Muassasah Ar-Risalah.
Muhammad Jawad Mugniyyah. 1999. Fiqih Lima Mazhab, (terj.) Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, dari judul Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Jakarta: Penerbit Lentera.
Muhammad Mutawalli Sya’rawi. 2006. Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
M. Quraish Shihab. 2003. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran Jakarta: Lentera Hati.
M. Quraish Shihab. 1998. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan.
Sayyid Sabiq. 2006. Fiqih Sunnah, (terj.) Nor Hasanuddin, dkk. dari judul Fiqhus Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Sayyid Qutb. Fi Zhilalil Qur’an. www. altafsir.com
Syamsuddin Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. www. altafsir.org
Wahbah Az-Zuhaili. 1991. At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj. Damaskus: Darul Fikr.
Wikipedia Indonesia
Yusuf Qaradhawi. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jakarta: GIP.
[2] Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11, hal. 321.
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 171
[5] Ibid, hal. 178.
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 178-179.
[7] Ibid, hal. 179.
[8] Ibid, hal. 179.
[9] Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah, Al-Mu’’jam Al-Wasith, cet. 3, Jil. 1, tt, hal. 133.
[10] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt), cet I, Jil. I, hal. 272.
[11] Al-Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Cairo: Darul Hadits, 2003), cet I, Jil. 3, hal. 631.
[12] Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an, (Mekah: Muassasah Ar-Risalah, 2000), cet I, hal. 324-325.
[13] Syamsuddin Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, www. altafsir.org
[14] Az-Zamkhsyari, Al-Kasysyaf, www. Altafsir.com
[15] Abu Bakar Al-Jazairi, Aisarut Tafasir, http://www.altafsir.com
[16] At-Tirmidzi, Al-Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah, (Urdun: Al-Makatabah Al-Islamiyyah), tt. hal. 349.
[17] Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, (Damaskus: Darul Fikr, 1991), cet I, Jil. 11, hal. 107.
[18] Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, www. altafsir. com
[19] Syamsuddin Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, www. altafsir.org
[20] Al-Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Cairo: Darul Hadits, 2003), cet I, Jil. 3, hal. 631.
[21] Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, www. altafsir.com
[22] Abu Ali Al-Fadhl bin Hasan bin Fadhl Ath-Thabrasi, Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1997), cet I, Jil. 8, hal.137.
[23] Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, (Damaskus: Darul Fikr, 1991), cet I, Jil. 11, hal. 107.
[24] Muhammad Jawad Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, (terj.) Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, dari judul Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999), cet. IV, hal. 81-82.
[25] Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet. I, hal. 50.
[26] Ibid hal. 51-52.
[27] Dr. Yusuf Qaradhawi , Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Drs. As’ad Yasin), (Jakarta: GIP, 1995), hal. 431-436.
[28] Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab (Terj. oleh Nashib Musthafa), (Jakarta: Lentera Basritama, 2002) dikutip dari Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini, http://www.hidayatullah.com
[29] Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam tahqiqnya terhadap kitab Misykatul Mashabih, karya At-Tabrizi, dalam Maktabah Asy-Syamilah. Dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, hadits ini dinilai hasan lighairihi oleh Al-Albani.
[30] Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat An-Nur-Fathir, (terj.) Munirul Abidin, MA, dari judul Qabasun min Nuril Qur’anil Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), cet. I, vol. 5, hal. 42.
[31] Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet. I, hal. 54-57. Hal ini juga ditulis oleh Syaikh Al-Albani dalam buku Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah fi Kitabi was Sunnah.
[32] H.A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Usul Fiqih, Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), cet. I, hal. 377-380.
[33] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (terj.) Nor Hasanuddin, dkk. dari judul Fiqhus Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet. I, hal. 1.
[34] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (terj.) Nor Hasanuddin, dkk. dari judul Fiqhus Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet. I, hal. 2-3.
[35] Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini, http://www.hidayatullah.com
[36] Muhammad Al-Muqaddam, Fiqih Asyratus Sa’ah, (Iskandaria: Dar Alamiyah, 2003), cet. I, hal. 9-10.